1 month ago
4 mins read

Keartifisialan yang Makin Merasuki Kehidupan Nyata

Ilustrasi. (Foto: Veracitiz)

JAKARTA – Hidup manusia hari ini, diwarnai pertanyaan besar: yang dihadapinya, realitas alamiah dengan manusia berperan utama? Atau semesta artifisial, hasil formulasi komputasi? Ini pertanyaan penting, sehingga perlu segera dijawab. Tapi sekaligus pertanyaan tak penting, sebab tak dijawab pun, hidup akan tetap baik-baik saja.

Saat termangu oleh pertanyaan itu, penulis mendapat kiriman video. Durasinya sekitar 60 detik. Video yang mengemukakan komitmen sebuah perusahaan, mengelola lingkungannya. Berjanji menjaga keseimbangannya, setelah perusahaan memanen sumberdaya. Uraiannya sangat mantap dalam bahasa Inggris, berpenutur asli. Juga disertai latar belakang audiovisual yang relevan.

Video di atas, semacam company profile bergambar gerak dan bersuara. Jika selama ini dikerjakan profesional dengan waktu panjang, video ini diselesaikan hanya dalam hitungan menit. Bisa cepat lantaran seluruhnya dibuat dengan aplikasi berbasis artificial intelligence (AI).

Cukup dengan mengetikkan prompt beberapa kalimat, audiovisualisasinya muncul dalam hitungan detik. Dan dengan penyempurnaan beberapa bagian ~juga dengan mengetikkan beberapa kalimat pada prompt~ dalam hitungan menit, seluruhnya selesai. Tampil sebagai audiovisual yang memuaskan. Bahkan memukau. Pesan yang hendak dikembangkan perusahaan, terepresentasi utuh.

Namun lantaran penulis tahu material itu dibuat dengan aplikasi AI, pertanyaan di awal tulisan terlontar: ini yang sedang ditonton, realitas perusahaan atau formulasi komputasi? Gambar-gambar yang tersaji merupakan representasi aktivitas perusahaan, atau stock video yang tersimpan di memori aplikasi? Punya legitimasikah seluruh pesan yang dimuat?

Bersamaan dengan gejala sejenis di atas, kerap hadir tawaran menggiurkan di feed atau fyp media sosial. Tawaran yang mempromosikan penulisan 1 edisi buku, dalam waktu penyelesaian kurang dari 1 jam. Temanya bisa apa saja. Juga ditujukan bagi khalayak pembaca, yang karakternya bisa dipilih.

Penulisan buku yang seharusnya membutuhkan ketekunan, pengalaman maupun pengetahuan, tak lagi jadi persoalan. Bisa dilakukan siapa saja, dan dihadirkan cepat dalam keadaan siap cetak. Bahkan diajukan ISBN, International Standard Book Number-nya. Tentu saja seluruhnya memanfaatkan aplikasi berbasis teknologi AI.

Pada realitas penulisan buku cepat ini, lagi-lagi memunculkan pertanyaan: nantinya yang bakal ditelaah pembaca, pikiran penulis yang namanya tercantum di halaman depan buku, atau rangkaian uraian logis hasil formulasi komputasi? Tentu saja pertanyaan itu bakal diiringi pertanyaan baru: apa makna penulis dan menulis hari ini? Apakah penulis dan menulis menyempit maknanya sekadar jadi pengguna promptpada aplikasi?

Posisi tak terdefinisi suatu material ~yang diterima sebagai produk kognisi manusia atau sebatas formulasi mesin~ sebenarnya bukan perbincangan baru. Eli M. Noam, 1996, lewat tulisannya “Electronics and the Dim Future of the University”, mengemukakan kerisauannya. Menurutnya, kurang lebih: sudah jadi pengetahuan banyak orang, kemajuan pesat perangkat komputer berperan dalam penelitian.

Kehadirannya memfasilitasi komunikasi yang tak terbatas di antara sesama peneliti. Ini menyebabkan perubahan hierarki organisasi yang dibatasi kontrol, termasuk kontrol pemerintah. Perubahan akibat teknologi ini, juga menyangkut etika berbagi informasi maupun mengkomersialkannya. Teknologi berhasil menciptakan perangkat baru untuk upaya akademis yang memperkuat dan memperkaya pengetahuan. Perlu digarisbawahi pikiran Noam itu, disampaikannya berselang 28 tahun dari hari ini. Jauh sebelum aneka hasil perangkat berteknologi AI berkategori LLM, large language model, merasuki kehidupan nyata.

Namun perubahan oleh perkembangan di atas, bukan tanpa masalah. Seluruhnya bisa melemahkan peran universitas, sebagai lembaga pendidikan tradisional. Tiga elemen tradisional universitas ~meliputi penciptaan pengetahuan beserta evaluasinya, pelestarian pengetahuan, maupun transmisi pengetahuan kepada khalayak~ sulit dipertahankan.

Terjadi migrasi dari pendidikan tinggi berbasis kampus klasik yang mengandalkan perkuliahan dari para cendekiawan, bergeser jadi perkuliahan yang menggunakan materi bacaan, latihan belajar interaktif, juga asisten pengajar, buku teks, dengan pola transformasi pengetahuan berbasis komputer.

Di saat awal, penyelenggara pendidikan merasakan efisiensi. Bentuk-bentuk pengajaran elektronik lebih unggul dan berbiaya lebih murah. Ini jika dibanding dengan pengajaran tatap muka. Seluruhnya menyebabkan pengajaran dapat ditawarkan kepada puluhan ribu mahasiswa, di seluruh dunia. Pendidikan tersedia lewat teknologi siaran, kabel, online, maupun satelit.

Tawaran menarik bagi peserta dengan pekerjaan penuh waktu, punya kewajiban keluarga, mobilitas yang terbatas, juga yang berada di lokasi terpencil. Namun dalam hal substansi, penyedia kurikulum elektronik bukan lagi universitas. Perannya digeser perusahaan komersial. Posisi universitas melemah, bahkan bisa runtuh.

Perusahaan komersial di atas, menyediakan material pendidikan elektronik canggih. Penyajinya dosen yang bergengsi. Namun yang dipelajari para mahasiswa, bukan hasil pengembangan pengetahuan maupun pengalaman para dosennya. Melainkan formulasi komputasi, yang datanya bersumber dari para pengajar dalam modus klasik.

Apakah yang dipelajari mahasiswa itu dapat disebut pengetahuan. Atau formulasi komputasi berwujud pengetahuan? Di bagian ini, seluruh uraian berikut pertanyaannya merupakan hasil pandangan 28 tahun lalu. Saat peran komputer masih banyak diwarnai tafsir.

Hari ini, saat peran komputer lebih jelas masih muncul pertanyaan. Sumbernya dari sisi elemen akademis yang ada di hadapan mahasiswa: para dosen pengajar. Pertanyaan yang sebangun dengan pembuka tulisan di atas: apakah yang sedang dinilai para dosen pengajar adalah mahasiswanya. Atau formulasi komputer dalam wujud karya yang diberi nama mahasiswa?

Pertanyaan ini juga mengawali uraian John Naughton, 2024, dalam artikelnya: “AI Cheating is Overwhelming the Education System – but Teachers Shouldn’t Despair”. Seluruh pertanyaannya relevan dengan kekhawatiran Eli M. Noam, walaupun tak seluruh kekhawatirannya terbukti hari ini.

Yang berlangsung saat ini, di tengah kegairahan orang tua mempersiapkan anak-anaknya memasuki perguruan tinggi. Juga para mahasiswa yang diliputi penasaran bakal seperti apa pekan-pekan pertamanya belajar di perguruan tinggi, para profesor punya kecemasan yang berbeda.

Elemen akademis ini sedang memikirkan cara menghadapi mahasiswa yang mahir menggunakan perangkat LLM. Mampukah para dosen pengajar membedakan karya mahasiswa sebagai produk kognisi yang didemonstrasikan, sebagai hasil pembelajaran. Dan bukan sekedar formulasi komputasi?

Perlu menyimpang sejenak: AI dalam kategori LLM berdasar uraian cloudflare.com, merupakan model bahasa besar ~suatu jenis program AI~ yang dapat mengenali dan menghasilkan teks. Model ini juga mampu menyelesaikan tugas-tugas lainnya. Ini lantaran LLM dilatih dengan menggunakan kumpulan data yang sangat besar. Karenanya disebut besar.

Dasar seluruh pengembangan LLM adalah machine learning (ML) yang berwujud jaringan saraf. Ini juga lazim disebut sebagai model transformator. Model transformator terdiri dari penyusun (enkoder) dan pembongkar (dekoder) yang punya kemampuan mandiri memaknai urutan teks. Juga memahami hubungan antar kata maupun frasa di dalamnya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana: AI berkategori LLM merupakan perangkat yang dapat berkomunikasi langsung dengan manusia. Juga dilakukan dalam bahasa manusia. Pengembangan programnya menggunakan data yang dikumpulkan dari Internet berukuran jutaan gigabyte, yang disajikan dalam rupa sangat banyak contoh.

Karenanya LLM dapat mengenali dan menginterpretasikan bahasa manusia, maupun data kompleks lainnya. Dalam hal kemampuan, LLM yang sangat dipengaruhi kualitas datanya. Karenanya pengembang program menyeleksi akurasi datanya.

Kembali pada uraian kekhawatiran para dosen pengajar, yang saat mengembangkan kognisi mahasiswanya, cemas dikelabui oleh karya yang dihasilkan LLM. Ini memunculkan pemikiran radikal: peran universitas bukan untuk adu pintar menyiasati agar karya akademis terhindar oleh adanya mahasiswa, yang mengajukan karya yang dihasilkan LLM.

Adu pintar ini tak berujung, dan bakal jadi pertempuran yang tak pernah dimenangkan. Seluruhnya bahkan mengancam proses belajar mengajar yang terhormat itu, tak dapat dipertahankan. Karenanya universitas harus kembali pada peran tradisonalnya. Proses tetap bertumpu pada penulisan esai sebagai titik tolak penilaian. Ini seraya diikuti pengembangan 2 sikap: pertama penerimaaan LLM sebagai teknologi yang melekat pada budaya. Tak beda dengan budaya tulisan, media cetak, perpustakaan, penggunaan internet, LLM adalah artefak budaya. Berperan mengembangkan manusia, bukan menggantikannya.

Kedua, penekanan menulis esai sebagai rangkaian proses belajar dan mengajar. Tulisan yang diajukan mahasiswa adalah demonstrasi kemampuan hasil belajarnya, yang telah purna menemui tujuan. Sehingga jika dalam proses akhir itu yang diajukan adalah karya LLM, kognisi mahasiswa itu sendirilah yang dikorbankan. Nampaknya, memang tak mudah menghadapi yang artifisial. Atau memang pertanyaan soal yang artifisial dan asli, tak ada perlunya diajukan?

Dr.  Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital/Pendiri LITEROS.org.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Penasihat Prabowo dan Menkominfo Bicara Empat Mata Soal Ekonomi Digital

JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia 2003-2008 dan Ketua Dewan Pakar TKN

Interaksi Media Sosial dan yang Tersembunyi Di Baliknya   

JAKARTA – Orang bijaksana berkata: bergaullah dengan orang baik, niscaya