1 month ago
1 min read

M Natsir Singgung Penyakit ‘Bachil’ yang Muncul di Masyarakat

Pemimpin Partai Masyumi, Mohammad Natsir. (Foto: Antara)

JAKARTA – Tanggal 17 Agustus menjadi momen bagi Bangsa Indonesia untuk berbahagia. Pada tanggal itu, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.

Dan Indonesia yang sudah mengalami penjajahan ratusan tahun lamanya itu akhirnya merdeka dari Belanda. Tapi momen tersebut ternyata tidak hanya sekadar menjadi momen untuk berbahagia.

Pemimpin Partai Masyumi, Mohammad Natsir, menggunakan momen Hari Kemerdekaan 1951 untuk membuat refleksi terhadap perjalanan bangsa Indonesia hingga saat itu.

Enam tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Natsir merasa rakyat Indonesia mulai punya anggapan bahwa hasil dari perjuangan dan kemerdekaan Indonesia tidak memberikan manfaat yang diharapkan.

“Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam-macam keluhan terdengar waktu ini. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel dan perasaan putus asa, menampakkan diri,” katanya dalam pidatonya itu.

Dalam keadaan seperti itu, berbeda dengan pada era perjuangan kemerdekaan, sebagian dari rakyat mulai memperhitung-hitungkan perjuangannya untuk Indonesia.

“Semua orang memnghitung pengurbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan ke muka apa yang telah dikurbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat,” lanjutnya.

Pada era perjuangan, semua orang memberikan pengorbanannya kepada masyarakat. Kini, sebagian dari mereka itu menuntut imbalannya dari masyarakat yang dahulu mereka perjuangkan kemerdekaannya.

Masyarakat dilanda penyakit ‘bachil’

Menurut Natsir, sebagian dari masyarakat Indonesia telah terkena penyakit ‘bachil’. Mereka pelit untuk mengucurkan keringatnya, meluangkan waktunya, dan menjadi serakah seiring dengan berjalannya waktu.

“Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat,” ujarnya.

Natsir mengatakan bahwa kemunculan penyakit kebachilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia merupakan suatu tanda perjuangan belum selesai.

“Hanya musuh saudara bertukar rupa dan bertukar tempat. Dahulu musuh di luar menghadapi saudara dengan terang-terangan, sekarang musuh yang di dalam diri yang meremukkan kekuatan bangsa menjadi bubuk,” terangnya.

Demikian, Natsir mengajak rakyat Indonesia untuk kembali mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu.

Terlebih, ia melihat adanya kontradiksi antara alam Indonesia yang sebenarnya kaya dengan nasib kebanyakan warganya yang masih saja mengalami kemalangan dalam hidupnya di negara yang sudah merdeka itu.

“Kemiskinan masyarakat di tengah-tengah kekayaan alam kurnia Ilahi, kelesuan batin dan kekosongan jiwa dari budi pekerti dan cita-cita yang tinggi, di tengah-tengah kecemerlangan palsu yang menyilaukan mata, bahaya disintegrasi dan kekacauan yang sedang mengancam, yang digerakkan oleh tangan yang bersembunyi semua ini merupakan suatu lapangan perjuangan yang berkehendak kepada ketabahan hati dan keberanian,” katanya.

“Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana,” lanjutnya.* (Bayu Muhammad)

Baca juga: Sukarno Bicara Cikal-Bakal Demokrasi Terpimpin

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Kabinet Zaken: Solusi Prabowo untuk Mewujudkan Pembangunan dan Stabilitas Politik

JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana membentuk kabinet zaken

Membangun Ketahanan Demokrasi 

JAKARTA – Konsolidasi demokrasi merupakan tahapan paling krusial dari proses