3 months ago
2 mins read

Grand Syekh al-Azhar Serukan Kerukunan Umat

Grand Syekh al-Azhar, Prof Ahmed Tayeb menyampaikan ceramah di Kampus UIN Ciputa, Tangerang Selatan. (Foto: Humas Kemenag)

TANGSEL – Grand Syekh al-Azhar, Prof Muhammad Ahmad al-Tayeb memberikan kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Grand Syekh yang juga Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM) mengapresiasi langkah Indonesia membela Palestina dan menyerukan kerukunan umat beragama.

Tayeb melakukan kunjungan kali ketiga ke Indonesia. Imam Akbar itu tiba sejak 8 Juli dan dijadwalkan akan berada di Indonesia hingga 11 Juli 2024.

Sebelum memberi kuliah umum di UIN, Grand Syekh diterima Presiden RI Joko Widodo. Keduanya juga mendiskusikan penyelesaian konflik di Gaza-Palestina.

Grand Syekh mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia atas perjuangannya untuk membela saudara-saudara kita di Gaza Palestina dengan memperjuangkan gencatan senjata dan menyampaikan bantuan-bantuan kemanusiaan.

Prof Tayeb dalam kuliah umumnya menyerukan pentingnya persatuan dan tidak tertipu dengan propaganda yang ingin memecah belah umat Islam dengan berbagai cara. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak menjadi umat yang inferior.

“Umat Islam adalah umat besar yang telah berkontribusi besar terhadap peradaban dunia,” tegasnya, di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (9/7/2024).

Tampak hadir mantan Menag Prof Quraish Shihab, Sekjen Kemenag M Ali Ramdhani beserta pejabat Eselon I dan II Kemenag, serta Rektor UIN Jakarta, Prof Asep Saufuddin Jahar.

Acara ini juga dihadiri ribuan pengunjung yang memadati Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta. Selain jajaran pejabat Eselon I dan II Kemenag bersama civitas academica UIN Jakarta, hadir juga para Rektor PTKN, alumni al-Azhar, serta mahasiswa.

Menurut Tayeb, perpecahan itu sering lahir dari lisan dan pena para dai yang tidak memahami prioritas dan fiqih ikhtilaf (perbedaan).

“Mereka yang sibuk dengan perkara-perkara khilafiyah tapi lupa dengan isu-isu keumatan yang utama seperti isu Palestina, isu kemiskinan, dekadensi moral dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Ia menyatakan umat harus diingatkan agar terhindar dari orientasi baru yang menolak ajaran empat mazhab.

“Di mana mereka membuat fiqih baru, di mana mereka mudah menyalahkan dan bahkan mengafirkan yang tidak sependapat dengan mereka,” tutur Tayeb.

Untuk menekankan hal ini, Grand Syekh mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat al-Bukhari yang menjelaskan bahwa apabila seseorang memiliki tiga kriteria ini, maka dia adalah muslim dan tidak boleh dikafirkan.

“Yaitu, pertama yang salat sama seperti kita salat kita. Kedua, yang menghadap kiblat kita. Dan ketiga, yang makan sembelihan kita,” ujarnya.

Grand Syekh juga menyeru umat Islam untuk menjaga kerukunan umat beragama, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat di mana mereka menghormati keyakinan agama lain.

“Menghormati tidak sama dengan meyakini. Yang kita lakukan adalah menghormati meskipun tetap keyakinan itu masing-masing,” kata dia.

Ia melanjutkan, umat Islam saat ini harus bergerak untuk beramal, bukan hanya pintar berbicara tetapi mengamalkannya. Seribu khutbah tidak akan menyelesaikan masalah, tapi satu aksi bisa menyelesaikan seribu masalah.

Moderasi beragama

Alumni al-Azhar dan mantan Rektor UIN Jakarta Prof Quraish Shihab berbicara tentang moderasi beragama. Menurutnya, manifestasi nilai moderasi beragama di Indonesia bisa dilihat dari bentuk negara Indonesia.

“Indonesia tidak berbentuk negara sekuler dan juga tidak berbentuk negara agama, tapi negara Pancasila yang sila pertamanya adalah tauhid,” papar Prof Quraish.

Menurut Quraish, manifestasi yang kedua adalah kelapangan dada para founding father yang Muslim dan para ulama ketika itu, saat penetapan sila-sila dari Pancasila di awal kemerdekaan.

“Di mana mereka rela untuk menghapus kata kewajiban menerapkan syariat Islam demi menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia yang plural dan majemuk,” ujar Guru Besar Ilmu Tafsir tersebut.

Quraish menambahkan, untuk bersikap moderat dibutuhkan ilmu. Menurutnya, ada tiga hal yang berbeda yang sering dianggap sama. Pertama agama, kedua ilmu agama, dan ketiga beragama.

“Agama sudah sempurna. Ilmu agama terus berkembang dan terjadi perbedaan antara ilmu yang diketahui oleh ulama satu ulama dengan ulama yang lainnya. Beragama butuh ilmu, agar cara kita beragama benar sesuai dengan ilmu, maka kiblat ilmu yang benar itu sudah ada yaitu al-Azhar,” ungkapnya.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Asep Saepudin Jahar, mengatakan UIN Jakarta memiliki hubungan yang erat dengan al-Azhar as-Syarif. Ini ditandai dengan berdirinya Fakultas Dirasat Islamiyah, di mana di fakultas ini menggunakan kurikulum yang digunakan oleh al-Azhar as-Syarif.

“Hampir seluruh dosennya adalah alumni Al-Azhar,” kata Prof Asep.

Menurut Asep, hubungan erat inilah yang menguatkan nilai moderasi di UIN Jakarta. Sehingga, UIN Jakarta menjadi salah satu pusat pembelajaran Islam yang moderat di Indonesia.

“Sebagaimana al-Azhar menjadi pusat pembelajaran Islam yang moderat di dunia,” ungkapnya.

Rektor berharap UIN Jakarta terus belajar dari al-Azhar untuk dapat mengembangkan ajaran Islam yang benar yang menjadi rahmat kasih sayang bagi alam semesta.*

Baca juga: Menag Sambut Kedatangan Grand Syekh al-Azhar

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

LHS: Jangan Bajak Demokrasi!

JAKARTA – Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) ikut

Enam Upaya Peningkatan Kualitas Haji

JAKARTA – Kementerian Agama menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Evaluasi