3 months ago
1 min read

Kasus Ahli Waris Krama Yudha Berbuntut Panjang, Pakar: Kompleks

Kapitra Ampera. (Foto: FB Kapitra Ampera)

JAKARTA – Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) mengeluarkan putusan pailit ahli waris Perseroan Terbatas (PT) Krama Yudha, yaitu Rozita dan Ery Rizly bin Ekarasja Putra Said.

Adapun buntut permasalahannya adalah pembagian bonus hasil keuntungan perusahaan senilai Rp 700 miliar.

Di satu pihak, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Arsjad Rasjid, bersama tiga orang lainnya mengajukan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU).

Menanggapinya, kuasa hukum Rozita dan Ery, Damian Renjaan, menyatakan pihaknya akan mengajukan upaya hukum kasasi. Ia mendorong agar PN Jakpus mengirim berkas putusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) untuk diproses.

“Kami akan kasasi terhadap Putusan Pailit tanggal 31 Mei yang lalu, kami meminta keadilan karena kami bukan sekedar dipailitkan tetapi dizolimi, klien kami ini WNA Singapura. Ini benar benar sangat merusak hukum Indonesia,” kata Damian, Selasa (11/6/2024).

Kasasi tersebut beralasan proses PKPU dinilai dipaksakan karena hanya didasarkan pada alat bukti kuitansi.

Sementara itu, alat bukti tersebut tidak dapat diverifikasi kebenarannya dan menyimpang dari aturan hukum. Dan tidak ada aturan hukum yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan PKPU terhadap ahli waris.

Pakar hukum, Kapitra Ampera, menjelaskan kalau PKPU merupakan alat untuk menunda pembayaran utang.

“Jadi, dalam hal ada utang yg udah jatuh tempo dan belum dibayarkan, baik kreditur maupun debitur bisa ngajuin PKPU ke pengadilan niaga,” katanya kepada Totalpolitik.com, Sabtu (6/7/2024).

Hal itu dilakukan untuk merestrukturisasi utang melalui mekanisme perdamaian.

“Tujuannya agar dapat disepakati proposal perdamaian yang menjelaskan cara dan jangka waktu debitur membayar utang kepada kreditur. Intinya, tujuan dari PKPU adalah perdamaian dan restrukturisasi utang,” sambungnya.

Menurut Kapitra, PKPU bisa ditolak. Dan pihak debitur akan dinyatakan pailit dalam kondisi tersebut.

“Dalam hal proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur ditolak kreditur, maka debitur dinyatakan pailit. Sebelumnya, pailit yang diakibatkan oleh ditolaknya proposal perdamaian dalam PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum lain (baik kasasi maupun PK),” sambungnya.

Ia juga mengatakan kreditur yang punya itikad ‘jahat’ bisa membuat debitur pailit.

“Konsekuensinya, banyak kreditur yang beritikad jahat membangkrutkan debitur dengan cara terlebih dahulu mengajukan PKPU terhadap debitur. Lalu ketika debitur mengajukan proposal perdamaian, kreditur dengan serta merta menolak sehingga debitur otomatis pailit,” lanjutnya.

‘Kompleks’

Dalam kasus PKPU ahli waris Krama Yudha, Kapitra menilai kalau akta yang dijadikan bukti masih diuji keabsahannya. Sehingga, sulit untuk membayangkan Ahli Waris Krama Yudha diminta membayar utang sebelum mengetahui apakah hubungan utang-piutangnya sah atau tidak.

Menurut Kapitra, permasalahan jadi semakin rumit dengan status Ahli Waris Ekarasja sebagai Warga Negara Asing (WNA). Salah satunya, muncul pertanyaan apakah WNA bisa dipailitkan.

“Mengingat bahwa ahli waris Eka Rasja adalah WNA, saya rasa masalah ini menjadi lebih kompleks lagi sebab membuka diskursus apakah: ahli waris dapat dipailitkan dan apakah WNA dapat dipailitkan,” ujarnya.

“Dalam hal ini, hukum Islam maupun hukum adat memisahkan harta ahli waris dengan harta pewaris. Ssehingga menjadi aneh apabila ahli waris dipailitkan, karena dapat berhubungan dengan harta-harta yang memang miliknya dan bukan warisan,” pungkasnya.* (Bayu Muhammad)

Baca juga: Menanti Perbaikan Polri pada Hari Bhayangkara Ke-78

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop