5 months ago
7 mins read

Tantangan dan Harapan Sektor ESDM Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Hafif Assaf. (Foto: Istimewa)

B. Energi baru dan energi terbarukan (EBET)

Begawan Energi Indonesia Subroto pernah menyampaikan kalau transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan energi terbarukan memerlukan komitmen dan political will.

Ia menilai pemerintahan era Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan hal tersebut. Akan tetapi, transisi energi tidak semudah membalikkan telapak tangan lantaran dibutuhkan waktu serta usaha maksimal.

Pengembangan EBET mulai menunjukkan geliat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perumusan, penetapan, hingga pelaksanaan kebijakan di EBET patut diapresiasi, mengingat Indonesia berkomitmen mencapai net zero emissons pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Data-data yang ada pun menunjukkan peningkatan penggunaan EBET di sektor ketenagalistrikan. Pemerintah menargetkan pangsa EBET mencapai 23% pada tahun depan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2023, potensi EBET yang meliputi panas bumi hingga bayu mencapai 3.686 GW. Akan tetapi, potensi yang baru diutilisasi baru sebesar 12,56

GW atau 0,34%. Fakta itu menunjukkan ruang pengembangan EBET di tanah air masih luas, apalagi didukung dengan isu lingkungan, perubahan iklim, dan peningkatan konsumsi listrik per kapita.

Akhir-akhir ini, PLN pun terus melakukan kerja-kerja konkret dalam pengembangan EBT. Terbaru, PLN dan Kementerian ESDM telah menyelaraskan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di mana sampai 2040, ada penambahan kapasitas pembangkit listrik 80 GW dengan perincian 75% berbasis EBT dan sisanya berbasis gas.

PLN pun sudah merancang skenario transisi energi di Indonesia melalui Accelerated Renewable Energy Development yang bertujuan mengatasi mismatch antara lokasi episentrum EBT yang jauh dari pusat ekonomi dan industri.

Pemerintah juga terus bersiap melakukan pengurangan sumber energi batu bara dalam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dari sejumlah penelitian, termasuk yang dilakukan Wan Habibi dan Kumala Sriwana (Telkom University 2022), terdapat sejumlah alternatif yang bisa digunakan sebagai substitusi batu bara antara lain limbah padat kelapa sawit, pelet kayu, dan arang briket.

Hasil penelitian itu menunjukkan pemerintah perlu mengambil sikap dengan melakukan prioritas terhadap pengembangan dan pemanfaatan pelet kayu sebagai bahan baku substitusi PLTU batu bara, khususnya dibeberapa tempat terdekat dari lokasi penelitian.

Alternatif lainnya, seperti di Jepang, saat ini juga terus dikembangkan riset dan teknologi penggunaan ammonia hijau pada PLTU agar target dekarbonasi bisa dicapai lebih cepat. Inisiasi ini dapat kita lihat juga pada studi oleh IRT di PLTU USCR Jawa 9 dan 10 yang merencanakan menggunakan ammonia hijau dan hydrogen hijau pada sumber pembangkit hybrid mereka.

Lebih lanjut, pemerintah pun terus mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik di tanah air, salah satunya dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 79/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk Transportasi Listrik.

Akan tetapi, masih ada beberapa kendala dalam pengembangan EBET. Yang utama dan krusial tentu adalah RUU EBET yang hingga saat ini masih terus dibahas oleh pemerintah dan Komisi VII DPR. Banyak pihak menilai RUU itu sulit dituntaskan oleh wakil rakyat periode 2019-2024.

Namun, perubahan konstelasi politik akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan ada perubahan di parlemen dalam penuntasan beleid tersebut.

Tantangan lain adalah pembiayaan dan investasi yang kurang memadai. Apalagi, pengembangan proyek-proyek EBET memerlukan penanaman modal yang besar, mengingat infrastruktur dan teknologi yang kompleks.

Pun keberadaan tenaga kerja yang mahir dalam infrastruktur dan teknologi EBET. Regulasi dan kebijakan juga menjadi tantangan lain yang perlu diselesaikan demi mengembangkan EBET di tanah air.

C. Hilirisasi hasil tambang

Dalam berbagai kesempatan, presiden terpilih Prabowo Subianto selalu menyatakan komitmen terus melanjutkan fondasi pembangunan yang telah dikerjakan para presiden pendahulunya, termasuk Presiden Jokowi. Utamanya yang berkaitan dengan hilirisasi.

“Hilirisasi kami meneruskan strateginya Pak Jokowi,” begitu kata Prabowo dalam dialog bersama para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Djakarta Theater, Jumat (12/1/2024).

Hilirisasi hasil tambang memang begitu menonjol di periode kedua kepemimpinan Jokowi. Utamanya nikel yang diharapkan bisa berlanjut hingga baterai kendaraan listrik.

Investasi demi investasi pun terus berdatangan dalam mempercepat hilirisasi tersebut, bukan hanya dari negara lain seperti China melainkan juga dari dalam negeri. Pembangun smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, menjadi salah satu bukti konkret keberpihakan pemerintah.

Akan tetapi, Kementerian ESDM pernah mewanti-wanti kalau ada empat masalah utama dalam hilirisasi hasil tambang, khususnya terkait pembangunan smelter. Keempat masalah itu adalah finansial, pasokan energi, lahan, dan perizinan.

Sejatinya, keempat masalah itu merupakan masalah klasik yang juga kerap ditemukan dalam investasi di sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu memberikan insentif, tidak harus fiskal tetapi bisa juga nonfiskal, agar dapat memberikan kepastian investasi para investor.

Kriteria Menteri ESDM

Duet Prabowo-Gibran memiliki delapan misi yang disebut dengan Asta Cita. Poin kedua Asta Cita adalah memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Demi mewujudkan swasembada energi, diperlukan sosok Menteri dan Wakil Menteri ESDM yang memiliki rekam jejak, kapasitas, dan integritas yang mumpuni. Presiden terpilih tentu tidak akan kesulitan mendapatkan sosok yang dipercaya dan memiliki kapasitas dalam memimpin Kementerian ESDM mengingat banyak putera-puteri terbaik bangsa berkiprah di sektor ini.

Akan tetapi, yang patut dicatat adalah sosok-sosok itu juga mesti mampu memastikan keberlanjutan kebijakan program pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menteri dan Wakil Menteri juga mesti cakap berkomunikasi dengan kementerian/lembaga, parlemen, pemda, maupun pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri agar kebijakan yang dihasilkan tidak keliru.

Pada akhirnya, semua kembali kepada hak prerogatif Presiden terpilih dalam memutuskan siapa pembantunya kelak. Satu yang pasti, banyak tantangan di depan yang mesti dihadapi serta diselesaikan di sektor ESDM dan semua itu membutuhkan kepemimpinan yang kuat, berintegritas dan cakap.*

Hafif Assaf, Public Affairs Professional/Pemerhati Kebijakan Publik/Ketua Umum ProGib Nusantara.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Immanuel Ebenezer: Antara Dua ‘Mania’

Ketika membentuk Prabowo Mania atau membantu Pak Prabowo, adakah pembicaraan

Kabinet Zaken: Solusi Prabowo untuk Mewujudkan Pembangunan dan Stabilitas Politik

JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana membentuk kabinet zaken