JAKARTA – Hindia Belanda menjadi panas saat Tahun Baru Tionghoa 1912. Polisi melarang pengibaran bendera Republik Tiongkok yang baru saja melancarkan revolusi terhadap kekuasaan Dinasti Qing. Hal itu memprovokasi orang-orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda.
Waktu itu, mereka mendapatkan rasa kebanggaan yang baru dengan meledaknya Revolusi Tiongkok. Setelah sekian lama menyaksikan kemunduran bangsa Tiongkok, mereka kini berharap akan kemajuan dan kejayaan pada masa mendatang. Dan itu membangkitkan rasa percaya diri di kalangan mereka.
Rasa percaya diri tersebut diwujudkan dengan pengibaran bendera Republik Tiongkok.
Tapi, nasionalisme baru orang-orang Tionghoa di Hindia Baru nyatanya menciptakan ketidaktertiban di masyarakat.
Setelah mendapatkan kebanggaan dan kepercayaan diri, mereka menjadi berani untuk menuntut penghormatan lebih dari rakyat pribumi. Seperti meinta untuk disapa ‘tuan’ dan diberi hormat seperti orang-orang Belanda.
Hingga akhirnya, dalam suatu upaya untuk mengendalikan gairah nasionalisme yang sedang berkobar, kepolisian Hindia Belanda melarang pengibaran bendera Republik Tiongkok saat Tahun Baru Tionghoa 1912.
Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menceritakan tanggapan masyarakat Tionghoa secara rinci. Mereka memutuskan untuk melakukan mogok yang pertama dalam sejarah Hindia Belanda.
Setelah diumumkannya pelarangan yang telah disinggung, seluruh komunitas Tionghoa di Surabaya menutup toko-toko mereka untuk beberapa hari.
Hal itu segera mendatangkan masalah bagi masyarakat Hindia Belanda dan pihak yang berwenang.
Mogoknya orang-orang Tionghoa dengan menutup toko-toko mereka menyulitkan rakyat pribumi ketika ingin membeli kebutuhan sehari-harinya seperti beras.
Permasalahan itu ternyata tidak mendapatkan penyelesaian yang damai. Orang-orang Tionghoa tidak membuka toko mereka dan rakyat pribumi yang kesulitan tidak menoleransi pemogokan tersebut.
Shiraishi menyebutkan adanya insiden penjarahan dan pemukulan oleh orang-orang pribumi yang menimpa masyarakat Tionghoa di seantero Pulau Jawa. “Sejumlah bumiputra yang dongkol menyerang toko-toko Tionghoa dengan memukuli pemiliknya,” tulisnya.
Insiden seperti itu tidak hanya terjadi di Surabaya, tetapi juga di Bangil dan Cirebon di mana pemogokan orang-orang Tionghoa hingga menutup toko mereka memunculkan konflik dengan orang-orang pribumi dan Arab.
Peristiwa tersebut menunjukkan kekuatan aksi mogok kepada rakyat pribumi. Mereka melihat kemampuan aksi itu melumpuhkan kegiatan ekonomi dan mengganggu kehidupan masyarakat. Sesuatu yang apabila dilakukan bisa membuat pemerintahan Hindia Belanda risih.
Tidak lama setelah itu, petani-petani di beberapa perkebunan tebu di Jawa Tengah melakukan aksi mogok. Mereka menolak untuk kerja paksa di perkebunan-perkebunan itu. Rakyat pribumi di Hindia Belanda kini mengenal mogok.* (Bayu Muhammad)