JAKARTA – Oposisi seringkali dianggap penting bagi demokrasi. Peneliti LIPI Firman Noor dalam Oposisi dalam Kehidupan Demokrasi berpendapat, demokrasi menjadi tidak berarti jika pemerintah tidak punya pengimbang atau pengontrol, yaitu oposisi.
Maka dari itu beberapa pihak khawatir jika tidak ada oposisi dalam periode kepemimpinan berikutnya.
Sebenarnya, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dengan kehadiran oposisi sebagai pengimbang dan pengontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia menyaksikan bagaimana Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir, Partai Masyumi pimpinan Mohammad Natsir, dan Partai Katolik pimpinan IJ Kasimo menentang keras Demokrasi Terpimpin sejak tahun 1959.
Kemudian, Orde Baru yang dibangun oleh Presiden Soeharto juga nyatanya tidak dapat menghilangkan oposisi, meskipun pemerintahan itu merupakan rezim otoriter.
Saat itu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nasionalis dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang Islamis melawan kekuasaan Soeharto. Di parlemen, mereka berhadapan langsung dengan Golkar yang disokong oleh sumber daya besar dari negara.
Masuk ke era Reformasi, politik oposisi belum menampakkan lagi keberadaannya secara jelas. Hingga PDI-P yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri kalah melawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004.
Waktu itu, Megawati menyetir partainya ke arah oposisi. PDI-P melarang kader-kadernya untuk menjadi menteri dalam kabinet SBY. Selanjutnya, mereka melancarkan kritik terhadap kebijakan-kebijakan SBY yang dianggap merugikan wong cilik, seperti kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang jadi isu kontroversial era kepemimpinan SBY.
Saat kekuasaan berpindah tangan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), politik oposisi kembali menampilkan dirinya. Kali ini, PKS dan Partai Gerindra memposisikan diri mereka di luar dan menghadapi kekuasaan. Sepanjang masa kepresidenan Jokowi, mereka mengkritik berbagai kebijakan, mulai dari pangan, tarif listrik, hingga utang negara.
Keadaan berubah ketika Prabowo Subianto yang memimpin Partai Gerindra memutuskan bergabung dengan Jokowi dan masuk ke dalam kabinetnya usai kalah dalam Pilpres 2019. Hal itu menyisakan PKS sebagai oposisi di parlemen yang konsisten hingga saat ini.
Dengan berakhirnya Pilpres 2024 dan sedang berlangsungnya komunikasi-komunikasi politik oleh partai-partai yang berkepentingan, masyarakat sedang menunggu bentukan pemerintahan dan oposisi selanjutnya.
Kali ini, fenomena pembentukan baik pemerintahan dan oposisi menjadi menarik. Beberapa partai yang berseberangan dan melawan Prabowo dalam Pilpres 2024 lalu terang-terangan mendekatinya sekarang. Bahkan, PKS juga mengungkapkan sedang menjalin komunikasi dengan pihak Prabowo.
Sementara itu, PDI-P menjadi partai yang hingga kini belum memberikan sinyal akan merapat ke Prabowo. Jika sikap ini terus ditunjukkan, bukan mustahil masyarakat akan melihat PDI-P sebagai satu-satunya partai oposisi di parlemen.
Namun, masyarakat tidak dapat menganggap hal itu final. Waktunya masih panjang hingga pelantikan Presiden, Wakil Presiden, dan terutama anggota dewan perwakilan. Masih ada ruang berbagai pihak mempengaruhi pembentukan pemerintahan dan oposisi selanjutnya.
Sampai dengan saat itu, masyarakat harus menunggu dan mencermati pergerakan partai-partai politik untuk akhirnya mengetahui siapa yang akan menjadi partai pemerintahan dan oposisi.* (Bayu Muhammad)
