Seorang perwakilan masyarakat adat Kualan Hilir, Ketapang, Tarsisius Fendi Susepi, yang turut hadir mengaku telah dipanggil oleh aparat sebanyak 19 kali.
“Kami di sini mengalami intimidasi-intimidasi dari pihak perusahaan melalui aparat. Kami lihat memang hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kami berharap bisa dapat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya , agar segera menyelesaikan persoalan Mayawana,” ujarnya.
Sebetulnya, KLHK sudah mengirimkan surat penghentian aktivitas kepada PT. Mayawana Persada pada 28 Maret 2024. Perusahaan tersebut diminta menghentikan segala aktivitas penebangan pada area bekas tebangan dan berfokus kepada penanaman pada lahan-lahan kosong, semak belukar, tanah terbuka dan kegiatan pemulihan lingkungan.
PT. Mayawana Persada tidak menanggapi perintah KLHK dan justru masih beroperasi. Perusahaan itu malah membuka lahan di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Durian-Sungai Kualan yang bernilai konservasi tinggi. Kawasan itu juga merupakan habitat bagi orangutan.
Selain merusak hutan dan lahan gambut, serta menghancurkan habitat dan lingkungan hidup berbagai spesies, aktivitas PT. Mayawana Persada juga melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi.
Kegiatannya di area tersebut mengabaikan fakta bahwa tanah dan wilayah yang menjadi area izin berusaha merupakan wilayah, tanah, dan hutan yang telah dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kalimantan Dayak secara turun-temurun sebagai tempat hidup dan penghidupan mereka.
Praktik buruk PT. Mayawana Persada tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja dan harus diungkap kepada publik, terutama pada saat pemerintah mengembar-gemborkan klaim penurunan angka deforestasi di Indonesia. Karena yang terjadi seperti dalam kasus pelanggaran oleh PT. Mayawana Persada adalah sebaliknya.* (Bayu Muhammad)