10 months ago
3 mins read

Quick Count, Exit Poll, dan Real Count dalam Pemilu Indonesia

Peserta pilpres 2024. (Foto: Dokumentasi Totalpolitik.com)

JAKARTA – Dari tahun ke tahunnya, pemilihan umum (pemilu) di negara kita tidak akan lengkap tanpa quick count, exit poll, dan real count. Istilah-istilah tersebut muncul pada saat hari-H pemilu. Dan setia mengiringinya sepanjang masa pencoblosan hingga penghitungan suara berakhir.

Quick count mungkin yang punya sejarah terpanjang di antara ketiganya. Ia merupakan metode hitung cepat hasil suara pemilu untuk mengetahui hasil pemilu secara prediktif dan cepat di hari pemungutan suara.

Data quick count diperoleh dari berita acara hasil penghitungan suara (C1) di Tempat Pemungutan Suara (TPS).Data hasil pemungutan suara dari TPS-TPS yang dijadikan sampel dikumpulkan dan ditampilkan secara real time dalam bentuk tabulasi.

Mekanisme perhitungan suara yang dilaksanakan selama masa pencoblosan berlangsung itu pertama kali dipakai dalam Pemilu 1997. Pada saat itu, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggunakannya untuk menghitung perolehan suara di wilayah DKI Jakarta. Dan dalam Pemilu 1999 di beberapa wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ketika digunakan, quick count LP3ES ternyata menghasilkan data perolehan suara yang sama dengan hasil pemilu. Tetapi, LP3ES memutuskan untuk tidak mempublikasikan data quick count pemilu bebas pertama di Indonesia itu karena pertimbangan politis.

Sebetulnya, perjalanan quick count lebih lama lagi dari itu. Dilansir dari Historia (16/2/2024), metode quick count pertama kali diterapkan di Filipina. National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL) menggunakannya dalam Pemilu 1986.

Mereka khawatir dengan pemilu di Filipina yang rentan dengan manipulasi oleh pihak-pihak berwenang untuk memenangkan petahana saat itu, yaitu Ferdinand Marcos, diktator Filipina yang terkenal.

Nyatanya, kekhawatiran mereka terbukti benar. Hasil penghitungan mereka berbeda dengan rekapitulasi Commission on Elections (Comelec), pihak berwajib Filipina untuk mengurusi pelaksanaan pemilu.’

NAMFREL menemukan kalau Corazon Aquino yang menentang Marcos mendapatkan 7.158.679 suara. Sementara, sang diktator hanya mendapatkan 6.532.362 suara.

Di saat yang sama, angka yang keluar dari Comelec menunjukkan Aquino hanya mendapatkan 9.291.761 suara. Dan Marcos mendapatkan 10.807.197 suara. Keadaannya berubah.

Kecurigaan mencuat. Hal itu diperparah dengan mundurnya teknisi-teknisi Comelec sehabis pemilu. Mereka mencari perlindungan dari pendukung-pendukung Aquino.

Ketidakwajaran itu menyumbang terhadap krisis politik yang berakhir dengan terjadinya Revolusi People Power pada 22-25 Februari 1986 yang mengakibatkan kejatuhan Marcos. Dan Aquino dilantik menjadi Presiden Filipina ke-11.

Di sini, quick count digagas oleh para inovatornya untuk menjaga pemilu. Quick count menyediakan data alternatif yang bisa menjadi pembanding dari hasil rekapitulasi pemilu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.

Apabila terdapat ketidaksesuaian yang wujud dalam perbedaan perolehan angka antara hasil quick count dengan penghitungan pihak berwajib, maka kecurigaan patut dimunculkan.

Perjalanannya di Indonesia sama-sama tidak mulus. Meski dilaksanakan dalam keadaan yang mungkin lebih kondusif daripada Filipina, quick count LP3ES berikutnya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 juga menyebabkan kontroversi.

Bekerja sama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI), LP3ES menggunakan quick count untuk menghitung suara yang diperoleh masing-masing kandidat pasangan calon (paslon). Beberapa di antaranya adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.

Dengan mengamati 1.416 Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang melibatkan suara 289.052 pemilih, sebagai sampel dari TPS di seantero Indonesia, LP3ES menghasilkan penghitungan 33,2 persen suara untuk paslon SBY-JK dan 26 persen suara untuk Megawati-Hasyim.

Hasilnya tak jauh berbeda dengan rekapitulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tapi LP3ES sempat bersitegang dengan KPU. Pasalnya, LP3ES dinilai melanggar Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 32 Tahun 2004.

Berdasarkan SK tersebut, pelaku quick count harus menyampaikan hasilnya terlebih dahulu kepada KPU sebelum dipublikasikan ke masyarakat.

Berbeda dengan di Filipina, perkaranya tidak terletak di perbedaan hasil penghitungan suara, melainkan prosedur birokratis seputar publikasi data quick count-nya.

Quick count hingga kini terus menjadi bagian dari pemilu di negara kita. Dan hasilnya tidak pernah meleset terlalu jauh dengan rekapitulasi oleh KPU, terutama untuk Pilpres.

Kini, quick count juga ditemani oleh instrumen-instrumen penghitungan lain yang memberikan rakyat semakin banyak data untuk dijadikan bahan pembanding melihat hasil pemilu yang diselenggarakan dari waktu ke waktu.

Bersama dengan quick count, exit poll juga mengisi ruang perbincangan. Metodenya adalah wawancara terhadap pemilih yang baru saja keluar dari bilik pencoblosan. Adapun salah satu pertanyaannya adalah siapa yang mereka pilih dalam pemilu yang sedang diadakan.

Kemudian, dua metode itu juga dilengkapi oleh real count. Ini merupakan hasil pemilu resmi yang dirilis oleh KPU. Berbeda dengan dua metode sebelumnya, hasil real count baru bisa diketahui setelah KPU menyelesaikan proses penghitungan suara yang dicoblos pada hari-H pemilu.

Kini, rakyat memiliki semakin banyak data. Jika kelimpahan data tersebut dimanfaatkan seperti quick count pada mulanya, maka rakyat bisa membandingkan hasil pemilu dari penyelenggara quick count dan exit polldengan hasil yang dikeluarkan pihak berwenang.

Dari situ, mereka bisa menilai apakah pemilu yang diselenggarakan benar-benar jujur. Dan kalau ada ketidakwajaran, dalam wujud perbedaan hasil penghitungan, apakah layak dijadikan alasan untuk curiga.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

PDIP dan Tantangan Mencari Calon Presiden 2029

JAKARTA – Pengamat Politik, Muhammad Qodari, menilai PDIP harus memiliki

Proyeksi Politik Ridwan Kamil

JAKARTA – Pengamat Politik, Muhammad Qodari, menilai Ridwan Kamil memiliki