6 months ago
3 mins read

Washington Tolak Jadi Presiden Tiga Periode

George Washington. (Foto: National Portrait Gallery)

JAKARTA – Dari Yoweri Museveni di Uganda sampai Hun Sen di Kamboja, kita menemukan banyak kejadian di mana pemimpin suatu negara tidak mau mundur dan memperpanjang jabatannya.

Penguasa-penguasa ini memulai kekuasaan mereka pada abad yang sebelumnya, dan hingga kini memengaruhi hidup jutaan rakyat di negaranya.

Mereka naik menjadi pemimpin di masyarakatnya saat keadaan negara sedang genting. Pada 1970-an, Museveni terlibat dalam pemberontakan terhadap Diktator Uganda, Idi Amin, yang terkenal kejam itu.

Pada waktu yang sama, Hun Sen juga mengambil jalan pemberontakan terhadap rezim negaranya yang tidak kalah bengis dengan Idi Amin di Uganda. Ia mengobarkan perang melawan pemerintahan Khmer Merah dengan bantuan dari Vietnam.

Tapi seiring berjalannya waktu, mereka ternyata menunjukkan ciri yang beberapa di antaranya tak jauh berbeda. Setidaknya, secara prinsipil dengan lawan-lawan yang mereka tumbangkan dahulu.

Keduanya juga menekan kelompok oposisi. Salah satunya dengan mengontrol media sosial. Bahkan, mereka tidak segan-segan menutup ruang media sosial sebelum pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan.

Hun Sen sendiri baru saja mundur. Ia digantikan oleh anaknya, Hun Manet, yang dipercaya bisa menjadi tokoh reformasi di Kamboja. Namun ini tidak berarti banyak untuk peralihan kepemimpinan di Kamboja karena kekuasaan Hun Manet juga bisa dilihat sebagai kelanjutan dari Hun Sen.

Memang, ada penguasa-penguasa seperti Paul Kagame di Rwanda dan Lee Kuan Yew di Singapura yang dinilai lebih baik. Seperti Museveni dan Hun Sen, mereka berkuasa untuk waktu yang lama. Dan kekuasaan mereka mendatangkan banyak kebaikan seperti meningkatnya keamanan dan pertumbuhan ekonomi bagi warganya.

Namun, sejarah manusia mengenal tokoh-tokoh yang berdiri di atas yang lainnya. Karena keistimewaannya yang membedakan mereka dari tokoh-tokoh lainnya.

Perihal kekuasaan, ada satu orang yang mungkin tidak hanya mengalahkan Museveni, Hun Sen, Kagame, dan Lee Kuan Yew, tapi juga pemimpin-pemimpin dunia pada umumnya. Dia adalah Presiden Amerika Serikat pertama, George Washington.

Jelang akhir periode kedua masa kepresidenannya, Washington dihadapkan kepada satu pertanyaan. Apakah dia akan mencalonkan diri lagi?

Sejauh ini, Washington sudah menjadi panglima tertinggi bala tentara Kongres Kontinental. Ia memimpin perang AS melawan Kemaharajaan Inggris dalam Perang Revolusi (1775-1783). Setelah itu, ia menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan. Memerintah AS pada saat-saat usia belianya.

Melewati perdebatan-perdebatan konstitusional. Ia juga menengahi konflik yang berkembang antara partai-partai politik pertama AS. Dan menghadapi kemelut hubungan internasional AS dengan Inggris dan Prancis usai pecahnya Revolusi Prancis pada 1789.

Politik kebajikan

Washington pada akhir masa jabatan keduanya merupakan pemimpin yang berpengalaman. Dan tentunya tidak akan kesulitan mencari dukungan apabila ingin mencalonkan diri lagi dalam pemilu selanjutnya. Apalagi, konstitusi AS belum melarang seseorang untuk maju lebih dari dua kali untuk jadi presiden.

Namun, tidak seperti Museveni dan orang-orang yang sudah disebutkan sebelumnya, Washington memutuskan untuk mundur. Alih-alih terus berkuasa, ia akan meletakkan jabatannya dan kembali kepada kehidupan publik di pertaniannya yang ada di Bukit Vernon, di tepi Sungai Potomac.

Muncul pertanyaan kenapa Washington mengambil langkah yang berbeda dari beberapa tokoh penguasa lainnya. Terlebih, ketika dia sebetulnya tidak dihambat oleh larangan untuk menjabat lebih dari dua periode menjadi presiden.

Beberapa akan mengatakan kalau Washington bisa menahan diri. Tapi itu bukanlah alasan utamanya. Penolakan Washington bersumber dari pemaknaannya terhadap ‘kehidupan publik’ yang sesungguhnya.

Sebelumnya, Washington memang punya alasan praktis untuk tidak maju lagi. Ia ingin memperkuat wibawa jabatan kepresidenan yang semakin dikritik oleh beberapa pihak sebagai posisi yang menjadi pintu masuk kekuasaan yang lalim.

Beberapa pihak memandang jabatan kepresidenan, dengan kekuatan eksekutifnya yang besar oleh karena konsentrasi kekuasaan, bisa menjadi sumber masalah. Bahkan, ada yang menganggap jika kepresidenan adalah janinnya kekuasaan monarki. Suatu bentuk pemerintahan yang mereka lawan sebelumnya waktu dijajah oleh Inggris.

Washington berharap untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga kepresidenan. Dengan memutuskan mundur, Washington membuktikan kalau seorang mantan presiden tidak dibutakan oleh kekuasaan dan bisa menahan diri untuk tidak maju lagi.

Tapi yang paling menakjubkan mungkin adalah alasan pribadinya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya masyarakat Virginia, negara bagian kampung halamannya, ia merasa lekat dengan kepribadian ‘kebajikan politik’. Salah satunya ditunjukkan oleh pelayanan tanpa pamrih terhadap kepentingan umum, atau warga negaranya.

Sejarawan asal AS, Paul Longmore (1988), mengatakan kalau Washington terdorong oleh kepribadian itu. Washington merasa kalau nilainya di masyarakat ditentukan oleh seberapa kebajikannya dalam menjalankan jabatan publik yang diamanatkan kepadanya.

“Sepanjang hidupnya, Washington mengerahkan seluruh tenaganya dalam pencarian seumur hidup, untuk pengakuan dari masyarakat terhadap karakter (terpuji) kehidupan pribadi dan publiknya,” tulis Longmore.

Dan ia menilai kalau mundur dari jabatan kepresidenan, setelah memberikan pelayanan yang besar kepada publik AS, akan memberikannya penghormatan dari masyarakat.

Di sini, Washington berupaya untuk mengilhami kehidupan seorang patriot asal Virginia abad ke-18 yang melayani masyarakat tanpa pamrih. Dan tidak terbutakan oleh kekuasaan untuk terus memegang jabatan tertinggi ketika ia merasa tugasnya bagi rakyat sudah usai.

Dari sini lahir legenda kalau Washington adalah penjelmaan dari Lucius Quinctius Cincinnatus. Seorang petani biasa yang melindungi Roma. Pertama dari serangan lawannya, dan kedua dari konspirasi untuk mendirikan kerajaan, sebuah kutukan bagi Republik Roma. Dan ia kemudian mengembalikan kekuasaannya kepada rakyat.

Seperti Cincinnatus, Washington memerintah selama dua kali. Membawa negaranya melalui berbagai krisis. Bisa saja mengambil kekuasaan absolut kalau mau. Tapi ia memilih untuk mengembalikan mandatnya kepada rakyat dan pensiun menjadi petani.

Kisah Washington yang nyaris jadi legenda ini menjadi alternatif bagi para penguasa yang hidup pada masa kini. Mereka bisa terus memerintah dan menyaksikan diri mereka jatuh ke dalam otoritarianisme yang dulu mereka kutuk, atau menahan diri.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menkominfo: AS Berkomitmen Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Digital di Indonesia

JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat melalui Duta Besar Amerika Serikat

Menlu AS Pergi ke Israel Bahas Gencatan Senjata

JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Antony