JAKARTA – Keramaian warga memadati Jalan Sampurna, Surabaya, Jawa Timur, pada bulan September itu. Di antara bangunan-bangunan kolonial megah yang diisi berbagai perusahaan dagang dan bank, orang-orang menjalankan aktivitas sehari-hari.
Sebuah pemandangan yang tidak aneh, malahan lazim di kota besar seperti Surabaya. Kota yang menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal penumpang dan barang yang berlayar dari pulau-pulau lainnya di seantero Indonesia. Tidak heran kalau pergumulan orang dan dagangan itu menghasilkan keramaian.
Namun, di balik kesan wajar kehidupan sehari-hari itu, ada perasaan gelisah yang mengaburkan suasana hati orang-orang yang berlalu lalang. Penduduk Surabaya di Jalan Sampurna tengah menghadapi pertarungan yang besar antara Partai Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, 1955. Dua partai besar itu berkampanye di kawasan sekitar Jalan Sampurna. Masing-masing pihak saling meninggikan diri dan menjatuhkan pihak lain. Propagandisnya berteriak-teriak di atas podium, berbicara semaunya.
Sesekali, kampanye mereka diadakan dalam jarak yang berdekatan. Pemandangan yang mungkin hanya bisa dilihat pada saat itu. Saat revolusi nasional Indonesia masih berlangsung. Serta gelora politik masih panas membara di hati setiap orang yang memanggil dirinya, dan sesamanya dengan kata “Bung”.
Itulah yang direkam dalam surat-surat sarjana asal Amerika Serikat (AS) Boyd R Compton yang dikumpulkan oleh Hamid Basyaib jadi buku dengan judul Kemelut Demokrasi Liberal (2021). Boyd menggambarkan kampanye Masyumi dan PKI itu secara detail.
Seperti burung merak yang ingin memukau sekitarnya, Masyumi dan PKI saling menggulirkan pidato demi pidato untuk merayu kerumunan massa di hadapannya. Dengan harapan mereka bisa meraup suara terbanyak dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 yang akan diselenggarakan.
Masyumi memulai kampanyenya dengan langsung masuk kepada inti diadakannya acara. Orator Front Muslim Anti-Komunis—organisasi terafiliasi Masyumi—langsung memuntahkan isi-isi pikirannya. Bagaikan rentetan senapan mesin, kata demi kata dikeluarkan sang orator untuk menunjukkan keunggulan pihaknya dibanding pihak sebelah.
Tampaknya, kampanye Front Muslim Anti-Komunis kali ini sukses. Sebab, hadir di hadapan mereka kerumunan berjumlah ribuan orang. Sementara itu, kampanye PKI yang diselenggarakan tak jauh dari situ baru dihadiri sekian ratus orang.
Keadaan berubah ketika kampanye Front Muslim Anti-Komunis berakhir. Secara mengejutkan, orang-orang yang tadinya menyimak propagandis Front Muslim Anti-Komunis dengan saksama bergegas ke acara kampanye PKI yang belum selesai juga.
Di sana, mereka ingin mencari hiburan. Bukan dari pidato-pidato para propagandis PKI. Namun, dari aneka hiburan yang disajikan oleh kaum merah di kampanye itu.
PKI tidak hanya memberikan pidato tentang partainya, sikap-sikapnya, dan keunggulan-keunggulannya atas politikus-politikus Muslim, tapi mengadakan pertunjukan-pertunjukan rakyat.
“Komunis menampilkan bergiliran ‘partai-partai rakyat’ mereka, lagu-lagu pesta yang meriah, pertandingan tinju, dan teater rakyat (ludruk),” tulis Boyd.
Acara itu semakin dimeriahkan dengan pengkondisian berupa pemasangan atribut-atribut partai, seperti bendera palu arit dan perhiasan lampion di sekitar lapangan tempat kampanye.
Lantas, muncul pertanyaan dalam pikiran Boyd. Alasan apa yang dipunyai para hadirin dalam acara Front Muslim Anti-Komunis sebelumnya. Jawabannya ia dapatkan dari seorang petugas keamanan berusia muda di lingkungan itu.
Boyd menuliskan jawabannya, “Masyarakat setempat hadir hanya karena rasa ingin tahu, dan bersorak-sorai hanya untuk mendorong sang tokoh (orator Front Muslim Anti-Komunis) supaya mengejek lebih tajam.”
Patut diketahui kalau petugas keamanan itu sebenarnya juga merupakan seorang komunis. Jadi keterangannya bisa saja tidak tepat.
Di sini, Masyumi dan PKI memajukan dua gaya berkampanye yang sama sekali berbeda. Masyumi mengedepankan agitasi. Sementara PKI berkreasi dengan menghadirkan hiburan untuk mengisi sela-sela sesi pidatonya yang tidak kalah agitatif sebenarnya.
Namun, keterangan yang diberikan oleh si komunis yang jadi petugas keamanan mungkin ada benarnya. Sekitar 40 kilo meter barat daya Surabaya, di Mojokerto, Boyd juga menemukan kampanye Front Muslim Anti-Komunis yang serupa.
Saat masyarakat ditanyai tanggapannya, mereka juga memberikan komentar yang tidak kalah sinis dengan yang disampaikan oleh petugas keamanan di Surabaya yang Boyd temui.
“Beberapa di antara mereka berkata kepada saya bahwa keagresifan semacam itu ‘tak menenteramkan hati’ dan tak Indonesiawi,” rekam Boyd dalam suratnya bertanggal 29 September 1955 itu.
Boyd sendiri mengobservasi jika acara Front Muslim Anti-Komunis di Mojokerto itu gagal mendatangkan kerumunan. Dan setidaknya seribu orang meninggalkan acara tersebut selama pidato disampaikan.
Pemandangan ini sebetulnya tidaklah asing. Tidak jarang kita melihat partai-partai politik berkampanye dengan cara memberikan hiburan kepada massa yang hadir pada era modern kini. Hal itu bahkan menjadi ‘kekhasan’ yang lekat kepada salah satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi dahulu. Dengan dampak yang signifikan bagi meningkatnya popularitas, jika bukan suara mereka.
Beberapa hal yang mungkin kita lihat beda kini adalah lagu-lagunya, koreografi-koreografinya di atas panggung, dan aktor-aktornya yang mendatangkan tawa kepada para penonton. Yang jelas, cara itu berhasil mengambil perhatian masyarakat dahulu, dan kini.*
