Adapun pasal yang dirujuk berbunyi, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Proses hukum
Kendati demikian, yang tetap menjadi pertanyaan apakah para oknum TNI akan diproses secara hukum? Apalagi kalau terbukti. Sebab, kata Usman, selama ini tidak ada anggota TNI yang dihukum setelah terbukti melakukan penculikan, penyiksaan, dan penghilangan nyawa.
Apalagi, Usman menegaskan, para petinggi TNI menghadapi kerumitan tersendiri dalam menanggapi kasus-kasus yang dibuat oleh bawahan-bawahannya.
“Pejabat TNI juga kerap terjebak oleh semangat jiwa korsa yangg sempit. Ditambah dengan laporan bawahan yang seringkali dibuat-buat. Misalnya, sudah jelas telah menembak warga sipil, laporannya bilang menembak TPNPB,” jelas Usman.
Menurut informasi dari Amnesty, korban penyiksaan sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, yang bersangkutan akhirnya meninggal dunia.

Penyiksaan kejam yang akhirnya memakan korban jiwa itu membuat Usman sinis terhadap komitmen pemerintah dan TNI untuk mengambil tindakan yang humanis terhadap masalah keamanan di Papua.
“Pernyataan-pernyataan petinggi TNI dan pejabat pemerintah lainnya soal pendekatan kemanusiaan maupun kesejahteraan menjadi tidak ada artinya sama sekali. Diabaikan oleh aparat di lapangan,” ujarnya.
Sebelumnya, deretan pejabat-pejabat negara dan TNI pernah membicarakan pengurangan cara-cara militeristik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di Papua.
Dalam acara pelantikan Panglima TNI Yudo Margono, Desember 2022 lalu, Presiden Jokowi meminta TNI melakuan pendekatan humanis baik, dan pengurangan prajurit TNI di Papua.
Yudo Margono sendiri mengatakan TNI di bawahnya akan berkonsultasi dengan semua pihak dalam merencanakan dan melaksanakan operasi-operasi di Papua.
“Dari pemerintah daerah, juga dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, apa yang harusnya kita lakukan. Tentunya kan perlu pendekatan yang di lapangan ini apa yang ada di sana. Jadi nggak harus langsung belum-belum sudah diputuskan,” jelas Yudo.
Tapi kenyataannya, kasus-kasus kekerasan TNI terhadap orang-orang di Papua terus bergulir. Dan korbannya tidak sedikit yang tergolong masyarakat sipil.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melaporkan ada 49 kasus kekerasan terhadap warga sipil sepanjang 2023. Kasus-kasus itu mengakibatkan 67 orang mengalami luka-luka, serta 41 orang lainnya meninggal dunia.
Tidak jarang, jatuhnya korban-korban sipil diakibatkan oleh adanya dugaan kalau orang terkait merupakan bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM).
“Beberapa peristiwa yang terjadi, didorong oleh adanya dugaan bahwa warga Papua merupakan anggota TPNPB-OPM yang menyebabkan aparat melakukan pengejaran dan penembakan,” ungkap Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya.
Menurut Dimas, peristiwa-peristiwa ini akan terus bertambah kalau pemerintah tidak mengkaji kembali dan mengevaluasi langkah-langkahnya di Papua.
Oleh sebab itu, selain mengusut tuntas dugaan kasus penyiksaan yang baru saja muncul ke permukaan, Usman meminta pemerintah dan TNI untuk merefleksikan diri.
“Harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban. Baik orang asli papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri.”
Kejadian ini menambah satu lagi catatan buruk dalam lembar sejarah penanganan TNI terhadap masalah keamanan yang terjadi di Papua.*