7 months ago
3 mins read

Amerika Serikat, Lagi-lagi antara Biden vs Trump

Joe Biden dan Donald Trump. (Poder360.com)

JAKARTA – Joe Biden dilantik sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) di tengah keadaan yang genting. Ia mengalahkan kandidat Partai Republik, Donald Trump, yang menjadi sosok kontroversial dan memecah-belah pada akhir masa jabatannya. Ia juga dilantik tak lama setelah pandemi Covid-19 pecah dan mengganggu kehidupan banyak orang di seantero dunia.

Perasaan mencekam yang timbul dari permasalahan-permasalahan itu tidak lebih terasa daripada di AS sendiri. Apalagi sebuah kejadian mengejutkan terjadi menjelang hari pelantikan Biden yang mengguncang masyarakat dan demokrasi AS ke akar-akarnya.

Donald Trump menolak mengakui kekalahannya. Ia menghasut pendukungnya untuk menghentikan proses pengesahan kemenangan Biden di Kongres. Pendukungnya menyerbu Gedung Kongres dan memaksa masuk ke dalamnya untuk mengganggu jalannya pengesahan kemenangan Biden.

Guncangan bagi masyarakat AS begitu hebat. Sampai-sampai Mike Pence yang menjadi Wakil Presiden Trump mengatakan kalau tindakan rekannya “… sangat gegabah.” Dan ia “tidak tahu apa niatnya” melakukan provokasi itu.

Pelantikan Biden tanggal 20 Januari 2020 dilaksanakan dalam latar belakang ini. Tidak mengagetkan kalau upacaranya penuh dengan makna yang simbolis. Dalam pidatonya, Biden memberikan kemenangannya kepada demokrasi. Ia berujar, “Ini adalah hari yang bersejarah dan penuh harapan, akan pembaruan dan tekad bulat.”

Biden juga menyinggung hal-hal yang menyentuh kehidupan sehari-hari warganya. “Sebuah virus yang muncul sekali abad diam-diam menjangkiti negara ini,” tandasnya.

Kemudian, Biden menekankan kalau Covid-19 telah merenggut nyawa banyak orang, mengakibatkan jutaan penganguran, dan menutup ratusan ribu bisnis.

Dari situ, Biden merasa kalau negaranya dan dirinya sedang diuji. “Ini merupakan waktu pencobaan,” tuturnya.

Mulai dari demokrasi yang sedang diserang, hingga peran AS di pentas dunia sedang diuji. Semua itu diselingi oleh ujian-ujian lainnya yang tak kalah berat, yaitu tumbuhnya ketidakadilan, rasisme, krisis iklim yang terjadi di tengah-tengah pandemi.

Sudah tiga tahun berlalu sejak dramaturgi yang memacu emosi itu ditampilkan. Pada waktu itu, Biden memberikan banyak janji terkait dengan perbaikan demokrasi, keharmonisan sosial, kesejahteraan, dan lain-lain. Beberapa di antaranya dipenuhi, dan beberapa lainnya dikecewakan.

Salah satu persoalan yang pertama kali mendapatkan perhatiannya adalah Covid-19. Segera habis dilantik, ia langsung mendorong Undang-Undang (UU) American Rescue Plan. Melalui UU itu, pemerintahannya bertujuan menggelontorkan program vaksinasi nasional dan bantuan keuangan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Kebijakannya berhasil memberikan vaksin kepada hampir dari setengah penduduk AS pada enam bulan pertama 2021. Data dari Commonwealth Fund juga mengungkapkan kalau program vaksinasi itu mencegah satu juta orang dari kematian, serta 10 juta lainnya dirawat di rumah sakit karena Covid-19 hingga November 2021.

Sementara janji Biden untuk kesejahteraan lewat pembangunan ekonomi juga bisa dikatakan tercapai secara memuaskan. Di bawah slogan “Build back better,” pemerintahan Biden mengeluarkan dana pemerintah untuk membangun infrastruktur dan perekonomian AS. Ia tidak menjadikan kata laissez-faire memandu kebijakannya.

Dampaknya bagi warga AS, terdapat 2,7 juta pekerjaan yang tercipta untuk mereka pada 2023. Lebih banyak daripada yang diciptakan oleh Trump sepanjang masa jabatannya. Kemudian, pada bulan Januari 2024, AS menambah sebanyak 353,000 pekerjaan. Sekarang, tingkat pengangguran di AS berada di angka 3,7 persen.

Biden juga menunjukkan keberpihakanya kepada pekerja-pekerja kelas menengah. Ia turut serta dalam protes serikat pekerja dalam beberapa kesempatan. Pemerintahannya juga memberikan kenaikan upah kepada pekerja kontrak. Sementara itu, tingkat rata-rata gaji pekerja AS sudah mulai mendekati angka inflasi.

Namun, tidak semuanya dikasih nilai ‘A’ dalam portofolio pemerintahan Biden selama tiga tahun belakangan ini. Pada masa awal jabatannya, Biden menjanjikan keharmonisan sosial. Namun, beberapa agenda seperti mengakhiri kekerasan senjata sepertinya jalan di tempat. UU soal keamanan senjata pada 2022 hanya mempersulit pembelian senjata, tapi tidak melarang pembeliannya sekaligus.

Kemudian soal perombakan kebijakan-kebijakan imigrasi yang dijanjikan, Biden mempertahankan salah satu peninggalan Trump yang kontroversial. Ia mempertahankan hukum yang memperbolehkan pemerintah untuk mengusir imigran dengan tangkas di perbatasan AS dengan Meksiko.

Selain nilai-nilai yang baik dan buruk dalam rapor kepresidenan Biden, ia juga dinilai secara beragam dalam sejumlah isu. Salah satunya adalah politik luar negeri AS. Keterlibatan AS dalam perang di Ukraina dan eskalasi di Tiongkok mengembalikan AS kepada posisinya sebagai kekuatan yang berpengaruh dalam pentas internasional.

Namun, hal itu dinodai oleh kebijakan pemerintahannya yang dinilai kurang responsif terhadap konflik Israel dengan Palestina. Meski pemerintahannya akhir-akhir ini mengambil sikap yang keras terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kebijakan-kebijakannya yang agresif.

Demikian rapor Biden selama memerintah. Kontroversi dapat muncul seputar kebijakan-kebijakannya. Pastinya, ia telah memberikan dampak positif yang secara objektif lebih baik daripada Trump dahulu. Sesuatu yang seharusnya dipertimbangkan warga AS untuk memilihnya kembali pada Pilpres 2024. Namun, semua itu dikembalikan lagi kepada mereka kala lawan lama Biden, Trump, kembali sebagai calon presiden dari Partai Republik.

Hingga kini, peninggalan-peninggalan Biden sudah diserang oleh Trump yang membangkitkan kembali politik perbedaan melalui retorika-retorikanya. Belum lama, Trump bahkan mengancam kalau AS akan mengalami pertumpahan darah jika ia tidak terpilih jadi presiden. Sama dengan empat tahun lalu, alternatif dari politik Trump adalah politik pecah belah dan ketakutan. Setidaknya dalam retorika.

Kini, masyarakat AS dan komunitas internasional menahan nafas mereka kembali. Selagi melihat AS dihadapi oleh pertanyaan yang amat penting, apakah mereka akan memilih Biden lagi? Atau kembali ke politik pecah belah lama yang dibangkitkan lagi oleh Trump? Mereka telah memilih jawaban yang tepat empat tahun yang lalu, kita hanya bisa berharap kalau mereka akan melakukan hal yang sama sekarang.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menkominfo: AS Berkomitmen Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Digital di Indonesia

JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat melalui Duta Besar Amerika Serikat

Menlu AS Pergi ke Israel Bahas Gencatan Senjata

JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Antony