1 year ago
4 mins read

Persahabatan Sarekat Islam dan Komunis Terganjal Politik

Kongres Sarekat Islam. (Foto: Web)

JAKARTA – Dalam sejarahnya, elemen Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah bergandengan tangan memperjuangkan nasib rakyat sebelum kemerdekaan. Melalui kerja sama di bidang pergerakan serikat buruh, mereka menggempur kaum kapitalis dan imperialis.

Hingga akhirnya mereka harus berpisah jalan pada awal dekade kedua abad ke-20. Alasannya bukanlah karena perbedaan keyakinan agama dan ideologis. Seperti kesan yang timbul pada era kontemporer ini di tengah masyarakat yang tidak bisa membayangkan keduanya bersatu.

Memang, ada upaya dari Haji Agoes Salim misalnya, untuk menjadikan Islam sebagai basis pergerakan SI setelah Kongres Centraal Sarekat Islam (CSI) pada 1919. Dan membentuk suatu barisan anti-PKI/SI Semarang.

Namun, hal itu tidak menjadi penyebab utama perpisahannya. Melainkan, si Putih dan si Merah harus berpisah lantaran perbedaan kepentingan politik. Sesuatu yang tidak seberat perbedaan keyakinan agama.

Peristiwa itu ditulis Takashi Shiraishi (1990) dalam bukunya An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 secara rinci.

Permasalahan dimulai pada awal 1920-an. Ketika pemogokan oleh Personeel Fabriek Bond (PFB)—serikat buruh pabrik gula yang terafiliasi SI—tidak berjalan mulus.

Awalnya, PFB yang dipimpin Soerjopranoto, orang dekat Salim berencana untuk mengadakan pemogokan umum di pabrik-pabrik gula seantero Jawa. Sebab, mereka khawatir perusahaan-perusahaan gula akan memecat pekerja-pekerjanya setelah musim panen dan penggilingan.

Sebelumnya, pekerja-pekerja itu yang menjadi anggota PFB pernah mengadakan mogok besar-besaran untuk menuntut perbaikan kondisi kerja mereka.

Untuk sementara waktu, sebagian besar dari mereka tetap dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan gula yang membutuhkan tenaga menghadapi musim panen. Terutama untuk menggiling tebu-tebu yang dikumpulkan dari kebun-kebun tebu yang ada di seluruh Jawa.

Kini, para pekerja mengkhawatirkan nasibnya. Mereka takut akan dipecat oleh perusahaan-perusahaan gula yang tidak akan membutuhkan tenaga mereka lagi dalam waktu dekat.

Perasaan gusar itu ditangkap oleh Soerjopranoto. Oleh karena itu, ia merencanakan suatu pemogokan umum untuk menuntut perusahaan-perusahaan gula mengakui PFB sebagai perwakilan kelompok buruh pabrik gula.

Agar ke depannya, PFB dapat membela para pekerja dan terus menuntut perbaikan kondisi kerja mereka kepada perusahaan-perusahaan gula.

Sialnya, para pekerja sudah kepalang takut dengan majikan-majikannya. Pemerintah juga menaikkan gaji mereka sebesar 20 sampai 50 persen. Kenaikkan gaji di satu sisi dan ancaman pemecatan di sisi yang lain mengurungkan niat anggota-anggota PFB untuk ikut mogok.

Pemogokan tetap dilaksanakan. Pada 17 Agustus 1920, Soerjopranoto melancarkan mogoknya. Tapi, pemogokan itu berakhir cepat setelah Soerjopranoto dan Salim dipanggil Residen Yogyakarta. Mereka berdialog dan residen berjanji pemerintah akan mendengarkan keluhan-keluhan para buruh.

Meskipun PFB mendapatkan janji dari residen, anggota-anggotanya masih belum yakin dengan nasib mereka. Ketakutan masih menyelimuti para buruh pabrik gula. Banyak dari mereka yang akhirnya memutuskan keluar dari PFB.

Soerjopranoto dan Salim harus memutar kepala. Mereka meminta waktu untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum. Hal itu mereka lakukan untuk meyakinkan kembali anggota-anggota PFB bisa memberikan jaminan atas pekerjaan mereka.

Di sini masalah mulai menyentuh hubungan antara kaum agamis dengan kaum komunis. Pasalnya, Soerjopranoto dan Salim tidak mau mendatangi gubernur jenderal dengan tangan kosong. Mereka ingin memberikan ‘hadiah’ kepadanya.

Tidak menjadi rahasia, pemerintah kolonial risih dengan keberadaan kaum komunis dan elemen-elemen kiri lainnya di tengah masyarakat. Dalam banyak aksi massa, mereka mengubah pergerakan rakyat dari sekadar menyuarakan tuntutan perbaikan ekonomi jadi politis.

Soerjopranoto dan Salim ingin mendepak para komunis di tubuh serikat buruh dan juga SI. Dan mereka akan melakukannya lewat mekanisme partij tucht, disiplin partai.

“Mereka harus membangun kredibilitas di mata pemerintah dengan mengambil langkah-langkah positif. Para komunis di Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh (PPKB) dan SI merupakan beban yang bisa disingkirkan,” tulis Shiraishi.

Dimulailah proyek Soerjopranoto dan Salim untuk menerapkan disiplin partai di SI. Atau lebih tepatnya lagi, pemurnian SI dari elemen-elemen komunis untuk menyenangkan hati gubernur jenderal.

Mereka mengusung isu tersebut dalam Rapat Pimpinan CSI bulan September 1920 di Yogyakarta. Sebetulnya, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto menyampaikan keberatannya. Tapi, kongres tetap berlangsung dan memutuskan untuk membahas mekanisme disiplin partai dalam Kongres CSI berikutnya di Surabaya pada Oktober 1920.

Sehabis rapat itu, pentolan komunis, Darsono langsung melontarkan serangannya. Dalam artikelnya yang terbit di surat kabar Sinar Hindia, Darsono mengkritik kepemimpinan CSI habis-habisan.

Tidak tanggung, ia juga menyentuh isu yang amat sensitif. Ia mengkritik gaya hidup mahal Tjokroaminoto. Mobilnya yang seharga tiga ribu gulden. Dan perhiasan-perhiasan yang ia beli untuk istri keduanya.

Hal itu menghancurkan wibawa Tjokroaminoto sebagai salah satu petinggi SI yang dihormati. Tidak perlu waktu lama, namanya menjadi sinonim untuk tindakan ‘penggelapan dana’ di kalangan pergerakan.

Dampaknya langsung terasa, Soerjopranoto, Salim, dan petinggi-petinggi SI lainnya memerintahkan agar kongres di Surabaya ditunda. Mereka juga menemui van Limburg Stirum dengan tangan kosong. Dan tidak mendapatkan apapun yang substantif dari sang gubernur jenderal.

Tapi ulah Darsono tidak berhenti di situ. Segera, kepemimpinan CSI mengobarkan perang kata-kata dengan kelompok Darsono, Semaoen, dan lain-lain yang memegang kendali berbagai elemen kiri dari kedudukannya di Semarang, termasuk SI yang bercabang di kota itu.

Soerjopranoto menuding Darsono dan PKI-nya ingin memecah belah CSI. Pimpinan CSI lainnya, Fachrodin menuduh Darsono ingin menghancurkan agama Islam. Ia juga mengutuk serangan terhadap Tjokroaminoto.

Darsono, Semaoen dan kubu komunis menyerang balik. Mereka berpendapat kalau pergerakan harusnya melayani rakyat, bukan menjadi raja atasnya. Semaoen sendiri menulis semua pimpinan SI berkepala panas dan suka marah-marah.

Alhasil, SI menjadi terpecah. Di satu sisi ada kubu CSI Yogyakarta yang berisikan Soerjopranoto, Salim, Fachrodin, dan elemen-elemen konservatif lainnya. Di sisi yang lain, ada faksi komunis di Semarang yang berisikan Semaoen, Darsono, dan lain-lain yang memegang kendali atas PKI, SI Semarang, dan berbagai serikat buruh beraliran kiri.

Namun, sepercik harapan keluar saat petinggi-petinggi CSI mengadakan rapat lagi pada Januari 1921. Pihak-pihak yang berseteru menyadari pentingnya persatuan. Dan ingin mengakhiri perpecahan yang ada.

Mereka bersepakat untuk mengadakan mosi kepercayaan terhadap Tjokroaminoto yang dituding menggelapkan dana SI. Mosi itu diajukan dalam Kongres CSI bulan Maret 1921. Dan Tjokroaminoto memenangkannya.

Tapi masih saja, kelompok Salim bertarung keras dengan kelompok Semaoen dalam kongres itu. Mulai dari persoalan sikap SI terhadap kolonialisme Belanda hingga siapa yang harus memegang kepemimpinan serikat buruh, semua menjadi bahan pertaruhan.

Konfliknya semakin berlarut-larut. Pertarungan keras pemimpin-pemimpin CSI dan elemen-elemen komunis lainnya telah membuat situasi di dalam SI tegang. SI akhirnya mengadakan kongres istimewa untuk membahas disiplin partai.

Pada Oktober 1921, mosi disiplin partai akhirnya lolos setelah mendapatkan suara terbesar dari peserta-peserta kongres. Sepertinya, pertikaian-pertikaian yang terjadi sebelumnya telah memengaruhi isi kepala para hadirin. Dan mereka akhirnya memilih untuk mencekal elemen-elemen komunis dengan memberikan pilihan hanya menjadi anggota SI atau PKI.

Setelahnya, Semaoen dan anggota-anggota komunis yang menghadiri kongres istimewa tersebut mengundurkan diri. Kini, perpecahan antara SI dan komunis menjadi kenyataan. Diakibatkan oleh perbedaan kepentingan politik yang menyerempet ke masalah-masalah personal pendukungnya.

Sejak itu, pergerakan nasional, dan nantinya bangsa Indonesia mengenal perpecahan antara kaum Islamis dan komunis. Dua bagian yang dulunya pernah bersatu melawan penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Kisah M Natsir Berkonflik dengan PKI tapi Bersahabat dengan Aidit

JAKARTA – Kisah Mohammad Natsir dan DN. Aidit merupakan salah

Penjelasan Sukarno tentang Peristiwa Gerakan 30 September

JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan kejadian yang
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88