JAKARTA – Hari itu, halaman Gedung Putih terisi penuh. Ramai dikerumuni oleh para wartawan. Mata mereka tertuju kepada tiga sosok yang tindakannya waktu itu akan mengubah dunia.
Di bawah siraman cahaya mentari, tanda-tanda alam sepertinya memberkati upaya Anwar Sadat dan Menachem Begin—yang diawasi Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter—yang akan segera menandatangani sebuah dokumen.
Sesudah dokumen itu ditandatangani, dan pena-pena disimpan kembali, mereka berjabat tangan. Dengan wajah senyum menghadap satu sama lain. Mungkin membisikkan kata-kata yang hanya diketahui oleh mereka sendiri.
Gestur kebahagiaan yang wajar diberikan. Sebab, Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin baru saja menandatangani perjanjian damai antara kedua negara. Setelah bertahun-tahun perang, mereka akhirnya berdamai pada 26 Maret 1979.
Dalam perjanjian itu, Sadat sepakat untuk mengakhiri permusuhan Mesir dengan Israel yang sejak 1948 telah menjadi musuh bersama negara-negara Arab di Timur Tengah. Tidak hanya itu, Sadat juga sepakat menormalisasi hubungan Mesir dengan negara Yahudi itu.
Hal itu sudah dilakukan Sadat, pahlawan Perang Yom Kippur 1973, jauh sebelum Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan menandatangani Abraham Accord dan menormalisasi hubungan mereka dengan Israel sepanjang 2020-2021.
Sebagai gantinya, Israel yang diwakili Begin sepakat untuk menarik mundur pasukannya dari Semenanjung Sinai. Wilayah yang direbutnya dari Mesir dalam Perang Yom Kippur 1973. Sebuah kesepakatan quid pro quo yang amat ditunggu oleh dunia.
Perjanjian ini adalah hasil kerja keras Jimmy Carter, yang sejak awal masa jabatannya mengupayakan perdamaian antara Mesir dan Israel.
Dua raksasa militer di Timur Tengah yang selalu membahayakan keamanan Timur Tengah setiap kali bangsa Arab dan Israel berkonflik.
Perjanjian damai ini diawali dengan pertemuan selama 13 hari pada September 1978. Pertemuan itu digagas oleh Carter yang semakin prihatin dengan lambatnya proses perdamaian di Timur Tengah.
Dengan mengundang Sadat dan Begin untuk tinggal di Camp David, Carter berharap mereka bisa merencanakan dan menyepakati perdamaian antara kedua negara.
Prosesnya bukanlah hal mudah. Kunjungan ke Camp David tidak terasa seperti liburan. Sadat dan Begin sama-sama merasakan tekanan saat kembali ke kamar tempat mereka menginap.
Di satu sisi, mereka sedang berhadapan dengan kesempatan untuk mendamaikan kedua negara, dan mungkin bangsanya; Arab dan Yahudi selama-lamanya. Dan dunia akan berterima kasih kepada mereka untuk itu.
Tapi di sisi lain, masing-masing menghadapi tuntutan politik domestik untuk menghasilkan kesepakatan yang sebaik-baiknya. Salah satunya mengenai status Semenanjung Sinai. Sadat menginginkan itu balik seutuhnya kepada Mesir.
Tapi Begin mendapatkan tekanan dari dalam negerinya. Masa pendudukan Israel di Sinai yang telah berlangsung cukup lama memberikan waktu bagi mereka untuk membangun pemukiman-pemukiman ilegal seperti di Tepi Barat kini. Begin ditekan, terutama oleh Ariel Sharon untuk tidak berkompromi soal itu.
Patrick Tyler (2012) menjelaskan kerumitan peristiwa itu dalam Fortress Israel: The Inside Story of the Military Elite Who Run the Country—and Why They Can’t Make Peace.
“Dia (Begin) ingin mempertahankan Aris, Yamit, dan Sharm el-Sheikh,” tulis Patrick. Semua itu adalah kota-kota di Sinai.
Selain itu, Begin juga dibuat pusing oleh infrastruktur-infrastruktur militer yang sudah dibangun Israel di kawasan tersebut.
“Begin juga ingin menyewa lapangan-lapangan udara yang telah dibangun Israel dalam wilayah Mesir,” terang Patrick.
Kendati demikian, tidak semua harapan pupus. Beberapa orang di pihak Israel, seperti Ezer Weizman dan Moshe Dayan yang merupakan petinggi militer lebih siap untuk berdamai.
Patrick mencatat kalau dua tokoh itu memahami Sadat akan lebih mudah untuk diajak bernegosiasi kalau Israel mengembalikan seluruh wilayah Sinai kepada Mesir.
Merupakan tugas dan upaya Carter untuk menyamakan persepsi dan menemukan titik tengah kepentingan masing-masing pihak. Ia akan menemukan banyak kesulitan dalam mengupayakan hal tersebut.
Seperti dalam pemukiman ilegal, permasalahan itu tidak akan selesai hingga hari terakhir pertemuan di Camp David. Ketika Begin akhirnya berhasil meyakinkan Sharon untuk berkompromi tentang isu tersebut.
Akhirnya, pertemuan itu berakhir pada 17 September 1978. Dengan ditandatanganinya Framework for Peace in the Middle East dan Framework for the Conclusion of a Peace Treaty between Egypt and Israel. Dua dokumen yang akan ditindaklanjuti dengan Perjanjian Mesir-Israel pada 26 Maret 1979.
Dalam acara penandatanganan perjanjian itu, Sadat, Begin, dan Carter mengutip Kitab Yesaya, “… maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas.”
Dua bangsa yang berperang, kini berkomitmen untuk membengkokkan senjata-senjatanya untuk dijadikan alat-alat dalam masa perdamaian.
Apa yang terjadi berikutnya memang tragis. Perdamaian kedua negara tercapai. Tapi itu memicu peperangan di masing-masing negara.
Begin mendapatkan kecaman dari politikus-politikus dan kelompok-kelompok sayap kanan Israel untuk peran dan kebijakannya dalam Peristiwa Camp David. Sementara Mesir sempat dicekal oleh dunia Arab. Markas Liga Arab dipindahkan dari Kairo ke Tunis di Tunisia.
Sadat sendiri nantinya dibunuh oleh kelompok Islam garis keras saat menginspeksi parade militer pada 1981.
Namun, perjanjian damai itu merupakan memori yang indah untuk dikenang. Menunjukkan kalau bangsa Arab dan Israel tidak hanya bisa, tapi dapat berdamai. Suatu ingatan yang makin pudar dillupakan oleh kejamnya peperangan yang kini terjadi di Jalur Gaza dan sekitarnya.*
