1 year ago
2 mins read

Tjokroaminoto Minta Rakyat Patuh pada Belanda

HOS Tjokroaminoto. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Dewasa ini, kita menjadi percaya bahwasanya kemerdekaan itu adalah bagian dari cita-cita luhur pendahulu-pendahulu kita. Hal itu tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Juga dikekalkan dalam pembelajaran sejarah nasional kita.

Penggeraknya, mulai dari Pattimura, melintasi Pangeran Diponegoro dan Kartini, hingga Sukarno dianggap sebagai pahlawan ‘nasional’. Aksi-aksi mereka dipandang sebagai perjuangan yang berkesinambungan menuju pembentukan negara Indonesia yang merdeka.

Tidak salah. Untuk satu hal, mereka memang mengadakan perlawanan baik fisik maupun pemikiran terhadap Belanda. Bahkan, kata ‘merdeka’ keluar dari mulut mereka, apalagi Sukarno.

Namun, pandangan seperti itu agaknya salah kaprah. Menganggap kalau semua tokoh yang kini menjadi pahlawan nasional Indonesia menginginkan kemerdekaan. Menjadikan pembentukan negara Indonesia yang merdeka sebagai tujuan akhir aksi-aksi mereka.

Sejarah Indonesia atau lebih tepatnya lagi Nusantara—untuk mencakup era kolonial ketika Indonesia bahkan belum dipikirkan sebagai konsep—mengenal waktu di mana sebagian dari tokoh-tokoh itu belum memikirkan kemerdekaan Indonesia.

Bukan hanya tidak memikirkan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan pergerakan mereka, tapi membayangkan adanya negara Indonesia yang merdeka saja belum.

Salah satunya adalah tokoh yang mungkin orang-orang tidak mengira akan memiliki pendirian seperti itu. Dalam pidatonya di rapat umum Sarekat Islam (SI) Semarang, ia mengatakan kalau rakyat pribumi harus menaati Belanda.

Memang, ia mengajak agar rakyat pribumi, terutama para Muslim memperjuangkan perbaikan dalam kehidupan mereka. Dan menuntut pemerintah kolonial agar menerima tuntutan-tuntutan mereka terkait itu.

Tapi, semuanya itu tetap dalam koridor kepatuhan terhadap pemerintahan kolonial. Berarti, sang pembicara tidak ingin ada aksi-aksi massa yang berujung kepada pemberontakan, apalagi kemerdekaan suatu negara.

Sosok yang dimaksud itu tidak lain ialah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Banyak orang kini mungkin tidak akan membayangkan kalau Tjokroaminoto, bapak ideologis dari Sukarno, Kartosoewirjo, dan Semaoen itulah yang menyatakan pandangan tersebut.

Pidatonya di Semarang itu direkam oleh surat kabar Sinar Djawa yang terbit pada 18 Maret 1914. Di hadapan para hadirin, Tjokroaminoto berkata, “Seperti yang dikatakan kitab (mungkin Quran) rakyat harus menaati perintah-perintah rajanya.”

Tjokroaminoto kemudian, dalam retorikanya menanyakan siapa itu yang sedang menjadi raja atas rakyat di Jawa, dan Nusantara.

Pertanyaan itu dijawab sendiri olehnya, “Jelas itu adalah Kerajaan Belanda. Maka berdasarkan hukum agama Islam, kita harus patuh kepada hukum-hukum kerajaan Belanda,”

Oleh karena itu, Tjokroaminoto meminta agar mereka menaati hukum-hukum dan aturan-aturan pemerintahan kolonial sepenuhnya.

Pada saat yang sama, Tjokroaminoto mengatakan kalau perkumpulannya, yaitu SI tidak akan berhenti untuk memajukan kehidupan rakyat pribumi. Bahkan, ia siap menjalankan kehidupan seorang ksatria. Sebagai orang yang rela menderita bahkan mati untuk memperjuangkan hal tersebut.

Pembicaraan Tjokroaminoto menarik karena dua hal. Pertama, ia ingin menggerakkan SI untuk terus mengupayakan perbaikan kondisi hidup rakyat. Namun, ia tidak ingin upaya-upayanya bertabrakan dengan kekuasaan pemerintah kolonial.

Takashi Shiraishi (1990) dalam bukunya An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 menjelaskan, Tjokroaminoto ingin membuktikan kesetiaan SI kepada pemerintah kolonial. Tapi dengan mengupayakan kemajuan kaum pribumi di bawah lindungan Belanda.

Terbukti, nantinya mereka akan mengajukan komplain terkait tingginya pajak, harga sewa, kerja paksa, dan penggerusan hak-hak kaum pribumi. Mereka juga menyerang feodalisme para bangsawan Jawa, seperti budaya ‘jongkok’ untuk merendahkan diri di hadapan mereka.

Namun, mereka tidak menyentuh wibawa atau kekuasaan pemerintah kolonial. Paling jauh, Tjokroaminoto dan pihaknya hanya menyerang pejabat-pejabat pemerintah yang berpangkat rendah.

Tjokroaminoto juga melakukan inovasi yang cerdas. Jika Ernest Francois Eugene (EFE) Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat menempatkan kemajuan rakyat pribumi berlawanan dengan kekuasaan pemerintah, Tjokroaminoto menyatukannya.

Dalam semangat politik etis, Tjokroaminoto waktu itu menyamakan kemajuan pribumi dengan kehendak Kerajaan Belanda untuk ‘membayar’ utang moralnya kepada rakyat jajahannya di Nusantara yang dahulu diberi nama Hindia Timur.

Bersenjatakan itu, Tjokroaminoto menyerang segala hal yang dianggap menghambat kemajuan rakyat pribumi sebagai hal yang berlawanan dengan kemauan negeri Belanda.

Sebetulnya, Shiraishi menjelaskan, Tjokroaminoto mungkin mencium bahaya kalau melawan pemerintah kolonial saat itu. Apabila ia menuntut kemerdekaan, atau meneriakkan tujuan-tujuan yang revolusioner saat berpidato, nasibnya mungkin tidak jauh dengan Dekker, Tjipto, dan Soewardi.

Seperti tiga orang pentolan Indische Partij (IP) itu, Tjokroaminoto mungkin akan dibuang ke luar Jawa. Hal yang dialami oleh mereka ketika Soewardi menerbitkan Als ik eens Nederlander was-nya yang mengkritik perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis di Hindia Belanda yang dijajah

Mungkin benar kata Shiraishi, Tjokroaminoto membuat langkah taktis untuk terus memperjuangkan nasib kaum pribumi tanpa mendatangkan amarah pemerintah kolonial.

Di sisi lain, Tjokroaminoto juga menunjukkan kalau ia memprioritaskan terwujudnya kemajuan rakyat pribumi, bahkan di atas perlawanan terhadap pemerintah yang mungkin berujung kepada kemerdekaan.

Jelas, pemberontakan atau bahkan kemerdekaan bukanlah tujuan akhir Tjokroaminoto pada saat itu. Tapi kemajuan kaum pribumi haruslah terus diupayakan, mungkin saja sebagai esensi daripada pergerakan itu sendiri.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

H Misbach Bicara Persatuan Islam dan Komunisme

JAKARTA – Seorang bertubuh besar naik ke atas podium. Wajahnya

Sukarno yang Ditempa di Tempat Tepat

JAKARTA – Seringkali orang dibentuk oleh lingkungan yang ada di
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88