Budaya yang telah menjadi bidang tersendiri.
JAKARTA – Sejak ditetapkan pada 21 Oktober, Kementerian Kebudayaan resmi berpisah dari Kementerian Pendidikan di masa pemerintahan Prabowo Subianto. Adalah Fadli Zon, yang merupakan mantan Wakil Ketua DPR RI 2014-2019, Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI 2019-2024, yang ditunjuk Presiden Prabowo untuk menggerakan Kementerian Anyar ini.
Sebagai alumni antropologi, saya memang telah lama berimajinasi tentang pemisahan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Dua elemen yang berbeda menurut hemat saya tidak bisa dijadikan satu nomenklatur. Bahkan di buku pengantar antropologi, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa sistem pengetahuan atau pendidikan adalah salah satu dari unsur kebudayaan, atrinya pendidikan merupakan turunan praktis dari alam berpikir masyarakat (kebudayaan).
Namun, di masa modern dengan sistem yang kompleks, tidak mungkin menaruh pendidikan di bawah naungan kebudayaan, karena kepraktisan pendidikan berbeda dengan kebudayaan yang merupakan thought system. Bahkan di era kontemporer abad 20, makna kebudayaan di Indonesia mulai menyusut hanya kepada segmen sistem berpikir dan praktik kearifan lokal masyarakat, khususnya di Indonesia.
Masyarakat Indonesia akan marah jika ada ilmuwan antropologi yang mengatakan bahwa agama merupakan unsur kebudayaan, turunan dari kebudayaan, karena merupakan bentuk penistaan. Agama adalah segmen yang terpisah jauh dari kebudayaan.
Padahal, jika mau dibuktikan, agama tumbuh dan berkembang tidak terlepas dari unsur kebudayaan bawaan geografisnya, yakni bahasa pengantar yang dituliskan di dalam kitab suci. Sebagai contoh Agama Hindi yang menggunakan Bahasa Sansekerta yang memang menjadi mother tounge masyarakat India.
Kemenyusutan makna kebudayaan hanya ke dalam satu segmen, yakni kearifan lokal, adalah sebuah keniscayaan di Indonesia yang tak dapat lagi dicegah. Kebudayaan pada akhirnya adalah suatu sistem berpikir dan praktik masyarakat dengan background etnisitas tertentu.
Misalnya, suatu sistem pewarisan nasab dengan garis keturunan matrilineal (dari ibu) yang ada pada Etnis Minangkabau. Atau sistem stratifikasi Bahasa Jawa (ngoko, kromo madya, dan kromo inggil) yang dipengaruhi oleh budaya politik kerajaan di masa lampau.
Kalaupun berbiacara agama, hanya kepercayaan lokal yang boleh dianggap sebagai unsur kebudayaan (turunan praktis dari kebudayaan). Tema-tema itulah yang menjadi batas, mana kajian budaya, mana yang bukan atau tidak berhak menjadi bahasan ahli antropopogi dan kajian budaya. Kajian kebudayaan tidak bisa menembus tema-tema terkini, misalnya sistem perumahan susun ke atas (apartemen) masyarakat karena bukan dianggap bidang kajian kebudayaan.
Kebudayaan sebagai trek diplomasi
Kembali ke soal Kementerian Kebudayaan, idealitas Fadli Zon untuk mengkhususkan bidang kebudayaan ke dalam urusan pemerintahaan adalah langkah cerdas. Dengan memiliki nomenklatur sendiri, maka urusan birokratik dan pengganggaran tentang kajian dan praktik kebudayaan akan lebih dirasa konkret bila dibandingkan dengan nomeklatur kecil direktorat jenderal kebudayan kemendikbud.
Kebijakan ini menjadi angin segar bagi ahli-ahli antropologi, kajian budaya, sejarah, sastra, seni (kriya, film, lukis, dll), dan arkeologi. Juga menjadi mata air bagi kedahagaan para praktisi kebudayaan (budayawan) di seluruh Indonesia.
Sejatinya segmen kebudayaan yang memuat banyak lingkup pengkaji dan praktisi tidak bisa hanya dimasukkan di dalam sebuat direktorat jenderal. Kebudayaan justru akan menelurkan direktorat jenderal sendiri jika diberikan kesempatan menjadi kementerian mandiri.
Satu keunikan yang ada di dalam Kementerian Kebudayaan adalah Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan. Nomenklatur yang tak terbayangkan untuk berdiri di luar Kementerian Luar Negeri. Di banyak negara seperti Amerika Serikat, Polandia, Slovenia, Republik Ceko, Pakistan, Spanyol, dll, diplomasi budaya ada di bawah Kementrian Luar Negeri.
Di Indonesia, sampai hari ini, Kementerian Luar Negeri RI memang tidak memasukkan diplomasi budaya sebagai nomenklatur direktorat jenderal. Adapun terdapat kata budaya hanya di dalam dua direktorat (setara biro), yakni direktorat Kerjasama Sosial Budaya ASEAN bertindak direktur saat ini adalah Yuliana Bahar dan direkrtorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang bertindak direktur saat ini adalah Penny Dewi Herasati.
Kedua direktur tersebut tidak secara spefisik mengerjakan diplomasi budaya, hanya mengurusi kerjasama kawasan ASEAN dan Multilateral yang memuat tema-tema sosial budaya, seperti masyarkat dan orgnasisasi di negara atau kawasan yang dikerjasamakan.
Tidak seperti negara lain yang memasukkan secara spesifik kerjasama budaya di dalam Kemlu mereka, Indonesia tidak meletakan kebudayaan sebagai segmen yang dikerjasamakan, disebabkan sudah eksisnya Direktoral Jenderal kebudayaan di Kemdikbud hingga tahun 2019.
Hal ini akan dirasa menciptakan tumpang tindihnya tugas pokok dan fungsi segmen kebudayaan jika masuk ke dalam Dirjen Kementerian Luar Negeri. Secara tidak langsung, kebudayaan dianggap hanya sebagai ranah domestik Indonesia yang tidak perlu dipromosiksn apalagi didiplomasikan.
Menangkap peluang ekspor kebudayaan
Direktoral Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerjasama Budaya adalah buah karya dari alam berpikir Fadli Zon. Sebelum menjadi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon adalah praktisi budaya di bidang pemeliharaan warisan budaya, bisa dilhat dari koleksi berbagai produk kebudayaan di rumahnya.
Ia juga banyak bersinggungan dengan praktisi budaya lain, dan juga pernah kenjadi penasehat Persatuan Seniman Komedia Indonesia. Dengan rekam jejak di bidang praktik kebudayaan, Fadli Zon tentu menyerap berbagai konfigurasi kebudayaan dan mengejawantahkan ke dalam kebijakan di Kementerian Kebudayaan.
Secara profesional, Fadli Zon juga menunjuk Dirjen yang berpengalaman di iklim diplomasi. Endah Tjahjani Dwirini Retno Astuti adalah mantan Kepala Biro BKSAP DPR RI yang dibawa Fadli Zon ke Kementerian Kebudayaan sebagai Dirjen.
Direktur Diplomasi Kebudayaan diemban oleh Raden Usman Effendi, diplomat senior yang pernah bertugas di KJRI Dhaka dan Hamburg. Direktur Promosi Budaya diemban oleh Undri, mantan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatera Barat.
Direktur Kerjasama Kebudayaaan diemban oleh Insan Abdirrohman, mantan Kepala Bagian Falisitasi Kegiatan Luar Negeri Anggota dan Alih Bahasa DPR RI yang juga pernah bertugas di BKSAP bersama Endah Tjahjani. Fadli Zon juga dibantu Annisa Rengganis sebagai Staf Ahli Budaya dan Hubungan Internasional, yang juga pernah menjadi Tenaga Ahli Fadli Zon di DPR RI.
Dengan komposisi yang ada di dalam direktorat jenderal, dapat dibaca bagaimana Fadli Zon menginginkan Kebudayaan ini bukan sekedar barang domestik, tapi juga produk ekspor. Fadli Zon juga menyerap pemikiran Alifiansyah Komeng, komedian yang sekarang menjadi Anggota DPD RI, bahwa Budaya sudah menjadi alat ekspansi suatu negara ke negara yang disubordinasinya, bukan lagi melalui senjata.
Komeng memberi contoh K-Pop yang berasal dari Korea Selatan bertumbuh subur dan mengakar di Indonesia. Sushi yang berasal dari Jepang menyebar di Amerika, adalah contoh ekspansi budaya mereka ke luar negara.
Alam berpikir diplomasi budaya
Pada faktanya, jika kita bandingkan, restoran Indonesia di luar negeri dibandingkan Thailand misalnya di Amerika Serikat masih kalah dalam jumlah. Thom Yum lebih terkenal dibandingkan Rendang di dunia.
Warga dunia mengenal Thailand, sebagai negara, sebagai objek wisata, tapi hanya mengenal Bali sebagai pulau dan objek wisata tanpa tahu Indonesia adalah negara apa dan di mana letaknya. Artinya ekspansi budaya Indonesia di luar negeri masih kalah masif dengan Thailand. Apalagi jika dibandingkan dengan China, sudah jauh tertinggal keterkenalan Indonesia.
China terkenal dengan Panda Diplomacy, di mana beruang endemik herbivora China menjadi alat diplomasi trek 1 dalam segmen budaya. Pada diplomasi trek 3 kelompok bisnis China telah menjalin perdagangan ke seluruh dunia.
Pada diplomasi trek 4 warga negara China secara pribadi telah membangun restoran chinesse di seluruh dunia yang bahkan menjadi solusi orang Asia Tenggara dan Timur yang selalu kesulitan mencari menu nasi di Eropa dan Amerika. China tumbuh sebagai negara dengan ekspansi kebudayaan yang luar biasa dalam tiga dekade.
Diplomasi budaya di Indonesia memang selama ini masih menjadi trek ke 4 yang diinisiasi oleh warga negara pribadi, belum menjadi trek 1 yang diorganisir pemerintah. Dampaknya adalah, keterkenalan Kebudayaan Indonesia di dunia internasional, baik sebagai sistem berpikir dan praktik tidak berjalan masif.
Menangkap fenomena ini, Fadli Zon membaca perlunya pelembagaan yang akan menjadi wadah bagi diplomasi trek 1 bagi ekspansi kebudayaan Indonesia sehingga akan berjalan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Cara berpikir ini akan membantu trek 4 yang diinisasi WNI di mancanegara untuk menpermudah promosi di restoran mereka misalnya.
Sebagai kesimpulan, hadirnya Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerjasama Kebudayaan adalah alam berpikir yang stratejik tentang kebudayaan. Kebudayaan yang di masa-masa lampau menjadi khazanah domestik, perlu diperkenalkan sebagai produk ekspor ke luar Indonesia dalam rangka ekpansi soft power negara.
Fadli Zon melihat peluang diplomasi budaya yang sepaket dengan pengembangan budaya di dalam domestik itu sendiri. Diplomasi budaya pada akhirnya berwujud nyata dengan pelembagaan dan diplomasi trek 1 Indonesia.*
Mohamad Wieldan Akbar, Tenaga Ahli DPR RI.