2 weeks ago
5 mins read

Konflik Abad ke-21 dan Kembalinya Realisme ke Hubungan Internasional

Ilustrasi. (Foto: Iicrr)

JAKARTA – Serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini membawa manusia kembali ke alam realisme. Serbuan Rusia ke Ukraina pada 2022 lalu hingga ketegangan yang terus meningkat antara AS dan RRT di perairan sekitar Taiwan menonjolkan kembali kekuatan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh aktor-aktor internasional.

Fenomena tersebut mengakibatkan ketegangan dan para aktor harus berusaha mengimbangi kekuatan satu sama lain untuk mencegah ketegangan yang ada berubah jadi perang.

Apa tepatnya yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang ini? Ketegangan yang mulanya diakibatkan oleh kekhawatiran Rusia kalau negara tetangganya, yaitu Ukraina merapat semakin dekat ke EU dan NATO berubah menjadi perang berskala penuh. Apa yang mulanya merupakan sejarah tidak terselesaikan antara RRT dengan Taiwan berlanjut jadi military build-up terus berlanjut antara RRT dan Taiwan beserta sekutu-sekutunya di Asia Timur.

Di balik itu ada suatu teori yang dahulu pernah menggerakkan umat manusia dalam pergaulannya di kancah internasional. Dan perspektif itu kini kembali merasuki kekuatan-kekuatan di dunia hingga membuat langkah-langkah semakin meningkatkan kekuatan militer mereka untuk mengimbangi satu sama lain kala menghadapi situasi yang tegang.

Seperti dalam kasus perang Rusia-Ukraina, teori itu berujung dengan berubahnya ketegangan menjadi perang yang berskala penuh. Sementara itu, dalam kasus ketegangan antara RRT dengan Taiwan beserta AS beserta sekutu-sekutunya, teori itu terus mendorong aktor yang ada untuk mengimbangi kekuatan satu sama lain; dan, satu aktor tidak bisa menjadi lebih kuat daripada yang lainnya sehingga mengurungkan niat untuk berkonflik.

Dengan hasil yang berbeda-beda, yaitu peperangan di satu tempat, dan keengganan kekuatan-kekuatan yang ada untuk berkonflik di tempat lain, yang jelas ruh ini menjadi faktor penggerak. Teori itu tidak lain adalah realisme yang melihat hubungan internasional digerakkan oleh faktor kekuatan.

John J Mearsheimer, dalam The Tragedy of Great Power Politics, mengatakan realisme memahami perilaku suatu negara dipengaruhi paling besar oleh perhitungan akan kekuatan mereka dan negara-negara lawannya.

Misalnya dalam konflik Rusia-Ukraina, Rusia menyerang Ukraina terdorong oleh kekhawatiran mereka terhadap perluasan kekuatan NATO ke wilayah Eropa Timur. Sejak pertemuan NATO di Bucharest pada 2008, NATO berambisi menambah Ukraina dan Georgia ke dalam aliansi militer mereka. Setelah serbuan Rusia ke Ukraina pada 2022, Finlandia dan Swedia menjadi anggota NATO. Demikian, jumlah negara yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap Rusia bertambah.

Dalam teori realisme, perluasan NATO ke Eropa Timur, terutama ke Ukraina tidak bisa, atau bahkan tidak perlu untuk dipandang dalam lensa baik atau buruk. Sebetulnya, teori itu tidak melihat baik atau buruknya suatu langkah terkait pembangunan, perluasan, maupun penggunaan kekuatan sedari awal. Akan tetapi, perluasan NATO yang jelas menambah ancaman dan rasa keterancaman Rusia terhadap kekuatan Barat.

Pada 2021, Ukraina semakin bergerak ke arah keanggotaan NATO. Presiden Volodymyr Zelenskyy sendiri mengunjung AS pada September 2021. Menlu AS, Antony Blinken, bersama Menlu Ukraina, Dmytro Kuleba, menandatangani perjanjian untuk melaksanakan reformasi-reformasi yang mendalam dan komprehensif di Ukraina dalam rangka integrasi dengan Eropa dan lembaga-lembaga Eropa-Atlantik.

Menghadapi fenomena yang dianggap perluasan kekuatan Barat, Putin mulai meningkatkan keberadaan pasukan Rusia di perbatasan negaranya dengan Ukraina. Dengan langkah itu, Putin berusaha untuk mengimbangi langkah Barat memperluas kekuatannya di Eropa Timur dan berharap bisa memaksa Barat terutama AS untuk menghentikan perluasannya ke Ukraina.

Putin sendiri mengatakan pihaknya menolak sepenuhnya wacana Ukraina bergabung dengan NATO karena dianggap sebagai ancaman terhadap Rusia.

“Kami dengan tegas menentang bergabungnya Ukraina ke NATO karena hal ini merupakan ancaman bagi kami, dan kami mempunyai argumen yang mendukung hal ini. Saya telah berulang kali membicarakan hal ini di aula ini,” kata Putin.

Sekali lagi, Mearsheimer berbicara soal kekuatan sebagai faktor pengancam yang bisa mendorong suatu negara membuat langkah membangun, memperluas, atau menggunakan kekuatan mereka. Dalam salah satu tulisannya, ia menyamakan persepsi ancaman yang dirasakan Putin dengan Doktrin Monroe yang dimiliki oleh AS. Sama seperti Rusia, AS tidak ingin menghadapi ancaman militer dari suatu negara besar yang ada di Benua Amerika.

Kendati melakukan perimbangan kekuatan, Rusia pada akhirnya memulai peperangan dengan menyerbu Ukraina pada 2022 lalu. Menghadapi suatu ancaman militer dari Barat yang dianggap eksistensial, Rusia melancarkan serbuan terhadap wilayah-wilayah timur Ukraina.

Hal itu juga menyusul diabaikannya tuntutan Rusia agar AS dan NATO memberikan jaminan tertulis Ukraina tidak bergabung dengan NATO, senjata-senjata ofensif tidak ditempatkan di dekat perbatasan Rusia, dan semua pasukan dan peralatan NATO yang dipindahkan ke Eropa Timur sejak 1997 ditarik kembali ke Eropa Barat.

Sementara itu, badai baru sedang membentuk dirinya di perairan Pasifik Barat. Di balik ketegangan di perairan sekitar Taiwan, sengketa di Kepulauan Senkaku, dan kebuntuan resolusi terhadap masalah di Laut Tiongkok Selatan adalah kemunculan persaingan antara RRT dan AS. Kebangkitan ekonomi dan militer RRT semakin menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi AS yang sudah memegang dominasi dunia sejak peralihan abad ke-21 yang ditandai oleh keruntuhan Uni Soviet.

Dalam The Return of Great Power War, baik pemerintahan AS maupun RRT menganggap masing-masing sebagai ancaman terhadap diri mereka sendiri. Ancaman tersebut berupa kekuatan militer, kapasitas industri, penguasaan teknologi, hingga ideologi. Seperti dalam hal ekonomi, RRT diramal melampaui AS pada 2030.

Dan itu berdampak kepada banyak hal. Salah satunya, RRT bisa mendanai pembangunan angkatan perang mereka dengan kapasitas finansial yang meningkat. Sementara itu, AS harus menghadapi kesulitan menjaga kekuatan militer mereka dengan kapasitas finansial yang semakin terbatas.

Di bidang teknologi, Taiwan yang menjadi pusat industri semikonduktor dunia juga jadi perhatian. Penguasaan atau pengaruh terhadap negara pulau tersebut bisa menentukan kekuatan dan posisi baik RRT maupun AS dalam urusan manufaktur dan perdagangan semikonduktor yang menjadi komoditas penting bagi dunia.

Apabila terjadi konflik antara RRT dan AS atas status Taiwan, maka bukan hanya mereka yang mengalami akibatnya, tetapi juga dunia yang harus menghadapi gangguan dalam rantai pasokan semikonduktor. Hal itu akan berdampak terhadap industri teknologi di berbagai tempat.

Tentu saja, pembahasan mengenai ketegangan RRT-AS yang didasarkan kepada pisau analisis realisme tidak lengkap tanpa membahas kekuatan militer masing-masing negara yang bisa jadi ancaman. Berdasarkan artikel CSIS, RRT diketahui memiliki AL terbesar di dunia sampai dengan 2024.

Kini, RRT mengoperasikan 234 kapal perang dibandingkan AS yang hanya mengoperasikan 219 kapal perang. Kekuatan AL menjadi penting dalam medan tempur Samudera Pasifik yang merupakan hamparan perairan luas membentang dari pesisir Timur RRT sampai dengan pesisir Barat AS.

Kekuatan AL RRT ditopang oleh kemampuan galangan kapal negaranya yang terus meningkat. Sekarang, RRT diperkirakan memiliki kemampuan membangun kapal 230 kali lipat dibandingkan AS. Kemampuan itu lah yang juga memungkinkan RRT untuk membangun kapal induk baru. RRT sudah memiliki tiga kapal induk yang operasional. Dan negara itu kini sedang membangun unit yang keempat.

Pembangunan dan persaingan kekuatan RRT-AS sepertinya terjadi secara komprehensif di berbagai lini. Dan tidak sedikit perasaan dari masing-masing negara kalau mereka jadi ancaman eksistensial terhadap satu sama lain.

Bahkan, RRT-AS khawatir dengan ketegangan yang ada bisa mengancam cara hidup mereka sebagai suatu bangsa. The Return of Great Power War mengatakan konflik yang diakibatkan perebutan status lebih sulit diselesaikan daripada konflik karena sengketa wilayah.

Sama dengan kasus di konflik Rusia-Ukraina, pihak-pihak yang terlibat saling menganggap lawannya sebagai ancaman yang berbahaya. Pada 2017, Kemenlu AS menetapkan RRT sebagai pesaing strategis AS. Sementara itu, Menhan AS menyebut RRT tantangan jangka panjang pada 2021.

Kemudian, Presiden AS, Joe Biden, mengumumkan kembali upaya negaranya untuk melakukan pivot to Asia, yaitu penguatan kerjasama dan pengaruh ekonomi AS di Asia-Pasifik. Di saat yang sama, AS berencana melanjutkan pembangunan AL mereka. Sampai dengan 2023, Council on Foreign Relations, mengabarkan AS ingin membangun armada sebanyak 381 kapal hingga 2030an.

Demikian, kita bisa melihat bagaimana teori realisme kembali menggerakkan negara-negara dunia untuk bertindak atas dasar pertimbangan terhadap kekuatan mereka sendiri dan lawannya masing-masing.

Di mana kesadaran itu mendorong negara-negara di dunia untuk terus meningkatkan, mengimbangkan, dan menggunakan kekuatan mereka masing-masing. Hal itu dilakukan untuk mengimbangi kekuatan yang dimiliki oleh lawannya.

Langkah tersebut berakhir dengan terjadinya konflik ketika ketegangan yang ada menjadi kian tidak tertahankan untuk berubah jadi perang yang berskala penuh. Sementara itu, di tempat lain, negara-negara yang ada menahan terjadinya peperangan dengan terus mengimbangi kekuatan mereka dengan yang lainnya, hingga tidak ada satu negara yang merasa lebih kuat hingga menyerang negara-negara lainnya.

Dan siklus itu akan berlanjut hingga perang pecah atau masing-masing negara menyadari kalau mereka tidak bisa menang dalam suatu peperangan yang pecah di antara mereka.*

Bayu Muhammad, Reporter Totalpolitik.com.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Kegagalan Bantuan Kemanusiaan di Tengah Krisis Medis

DARFUR – Hari ini menandai 500 hari krisis kemanusiaan terburuk

PBB Harap Indonesia Bisa Lobi Negara-Negara Akui Kemerdekaan Palestina

JAKARTA – Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan