3 months ago
6 mins read

Marshel Widianto, Apa Salahmu Kawan?

Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, A Riza Patria dan Marshel Widianto. (Foto: IG Marshel Widianto)

JAKARTA – Pria yang wajahnya sangat familiar itu adalah idola remaja pada generasi saya. Dia berbincang dengan banyak orang yang menghampiri di lobi kantor sebuah partai. Sang Rockstar melayani obrolan dengan setiap orang partai yang tidak dikenalnya. Dia tampak menikmati segala basa-basi, walaupun hatinya mungkin berkata lain.

Sigit Purnomo Said atau Pasha Ungu pernah berkisah tentang sulitnya perjalanan untuk mendapatkan rekomendasi partai politik. Ketika hendak mencalonkan diri di Pilkada Kota Palu, status superstar-nya ternyata tidak punya nilai yang membuatnya lebih spesial. Dia tetap harus menunggu berjam-jam untuk bertemu dengan elite partai, seperti banyak bakal calon kepala daerah lainnya.

Bahkan tanpa sadar, entah berapa banyak kopi manis dengan gelas plastik ala Starling yang sudah dihabiskan oleh Pasha saat menunggu elite-elite partai. Rekomendasi partai masih jauh, namun terkena diabetes pun bisa jadi semakin dekat.

Tidak ada orang meragukan popularitas Pasha. Namun, pekerjaan politik yang berat harus dituntaskannya untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Sebab, mengurusi surat yang ditandatangani langsung oleh ketua umum partai tersebut merupakan salah satu pekerjaan paling gaib yang ada di Republik Indonesia.

Sekali lagi, mendapatkan dukungan atau rekomendasi partai politik untuk Pilkada adalah pekerjaan politik yang luar biasa sulit. “This is a real elite game!” Kalau Anda tidak cukup elite, saya pastikan sulit untuk mendapatkannya.

Siapapun yang sudah mengalaminya pasti paham betapa beratnya mendapatkan kepercayaan partai politik untuk bertarung di pemilihan eksekutif. Bahkan, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden Joko Widodo harus bersitegang dengan pengurus PDI-Perjuangan Surakarta yang sudah punya jagoan sendiri.

Jadi, saya berkesimpulan siapapun warga negara yang sudah mendapatkan surat dukungan partai politik untuk pemilihan eksekutif adalah tokoh yang benar-benar punya kekuatan untuk menembus tembok elite nasional. Tak berlebihan, kita sebut sebagai orang-orang berkemampuan spesial.

Harus diakui, surat sakti tersebut memiliki kecenderungan sentralistik. Maka, seorang kandidat butuh semakin banyak jaminan dari elite politik yang ada di lingkaran ring satu untuk mendapatkannya. Kandidat harus bersafari hingga semua surat dukungan cukup di kantong.

Bagi partai politik, keputusan kandidasi di pemilihan eksekutif memang memiliki bobot pertimbangan yang berbeda dengan pemilihan legislatif. Lebih dari sekedar angka survei dan popularitas, ukuran dalam keputusan rekomendasi pemilihan eksekutif lebih subjektif.

Berbeda dengan pemilihan legislatif, partai politik memiliki kebutuhan yang besar kepada kandidat. Partai harus memenuhi daftar calon legislatif yang sudah disediakan berdasarkan regulasi. Selain itu, mereka harus berupaya untuk menjawab keinginan berbagai segmen pemilih.

Sebuah partai akan cenderung meletakkan kader utamanya untuk menggarap pemilih yang berada pada segmen simpatisan ideologis, sementara tokoh berlatar belakang selebriti akan didorong untuk menguasai ceruk pemilih non-ideologis.

Harapannya, partai dapat memaksimalkan suara dari segmen pemilih yang berbeda karakteristiknya. Apakah ini pragmatis? Iya, namun hilang dari peta politik jauh lebih mengerikan.

Apalagi melihat prasyarat yang diamanatkan undang-undang, partai politik harus memenuhi kuota perempuan. Teman-teman artis perempuan akan sangat potensial direkrut sebagai votegather. Di tengah sulitnya partai politik melahirkan tokoh perempuan, cara pragmatis ini selalu akan jadi solusi dalam pertarungan.

Situasi ini tentu harus diperhatikan oleh partai politik, agar kualitas kepemimpinan perempuan menjadi lebih baik lagi.

Sementara dalam pertarungan eksekutif, kandidat memiliki kebutuhan relatif lebih besar kepada partai politik. Sebab, kandidat harus mengumpulkan kursi partai politik yang ada di legislatif untuk memenuhi syarat minimal pencalonan.

Seandainya kursi sebuah partai tidak cukup 20%, maka membangun koalisi dengan partai lainnya tidak terhindarkan. Oleh karena itu, terkadang partai dengan satu kursi saja di legislatif dapat menentukan peta pertarungan politik.

Setiap kursi legislatif direbut dengan sebuah perjuangan yang besar di tengah kompetisi yang brutal ini. Maka, dukungan di Pilkada harus mendapatkan kompensasi politik yang adil dan setimpal. Kompensasi di sini tidak semata-mata masalah uang, bisa saja ideologi, kedekatan, dan harapan masa depan.

Kemampuan kandidat dalam menggalang kekuatan elite adalah suatu syarat mutlak. Maka jangan heran, seorang kandidat dapat gagal berlayar setelah kehilangan satu kursi dukungan saja. Sejauh pengalaman saya, popularitas tidak cukup untuk bertarung di sini.

Kembali lagi ke prinsip nomor satu, keputusan elite-elite partai sangat subjektif. Bukan hanya ketua umum, namun setiap elite di ring satu memiliki agenda masing-masing. Seringkali, keputusan sebuah dukungan pilkada sudah melalui kompetisi internal yang sengit.

Saya sering mendengar cerita miris, seperti surat dukungan yang sudah ditandatangani, kemudian disobek sendiri oleh partai yang mengeluarkannya. Akhirnya, seorang kandidat tidak jadi berlaga.

Dukungan melayang kepada orang lain yang dijagokan oleh elite yang memiliki tawaran lebih menarik. Maka dalam kandidasi eksekutif, kandidat selalu punya perasaan tidak aman, sebelum semua syarat terdaftarkan di KPU.

Berbagai variabel sangat memengaruhi kemungkinan seorang kandidat dapat melaju dalam kontestasi eksekutif. Oleh karena itu, kemampuan negosiasi antarelite, apalagi hubungan yang terbangun dalam waktu panjang akan menjadi nilai lebih. Setelah itu, pembicaraan baru akan masuk ke detail logistik dan teknis pemenangan.

Dalam urusan rekomendasi partai, pengalaman politik saya tidak cukup membanggakan. Meskipun bergaul dengan banyak politisi setiap hari, saya tidak yakin dapat menjamin keberhasilan rekomendasi bagi kandidat yang saya jagokan.

Akurasi saya dalam perebutan rekomendasi partai politik tidak sampai 10%. Artinya, dari sepuluh kali percobaan, keberhasilan saya tidak sampai satu kali. Pekerjaan ini sangat mistik.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

PDIP Umumkan Ratusan Calon Kepala Daerah

JAKARTA – Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),

Petinggi PDIP Bicara ‘Kans’ Dukung Anies di Jakarta

JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),