6 months ago
2 mins read

Makna Di Balik Pakaian ‘Heboh’ Sukarno

Presien RI Pertama, Sukarno. (Foto: Quora)

JAKARTA – Sosok Sukarno erat dengan gaya berpakaian yang flamboyan. Dua hal itu seperti berjalan secara beriringan dan tidak bisa dipisahkan. Hingga ketika Presiden Indonesia pertama itu dibicarakan, gaya berpakaiannya juga dibayangkan secara beriringan.

Ketika Sukarno dimunculkan dalam pikiran banyak orang, mereka membayangkannya sedang menggunakan jas yang berwarna putih, berkilau memantulkan cahaya. Atau pakaian bergaya militernya yang lengkap dengan tanda-tanda pengenal pangkat.

Ada banyak yang memujinya, tapi tidak sedikit juga orang yang menganggap perilaku Sukarno itu berlebihan.

Jangankan khalayak umum, beberapa orang terdekat Bung Besar juga pernah mengkritiknya karena itu.

Dilansir dari Historia, salah satunya adalah TB Simatupang yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Perang.

“Saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang memakai uniform dan memberikan hormat kepada Bung Karno yang tidak memakai uniform, sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu tinggi, tapi yang tidak pakai uniform,” kata Simatupang.

Melihat Sukarno, presiden dengan atribut-atribut militer, Simatupang menilainya keterlaluan. Dan lebih baik menggunakan pakaian sipil. Pun itu juga sudah mendatangkan rasa hormat dari rakyat kepada Sukarno.

Namun, sang presiden sulit untuk berpikir, bersikap, dan bertindak biasa-biasa saja. Sejak lama, ia merasa apapun yang diperbuatnya memiliki makna yang lebih besar lagi.

Dalam biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menjelaskan keputusannya mengenakan pakaian-pakaian bergaya militer didasari kepada keinginannya mendatangkan kepercayaan dari rakyat.

“Kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan. Kepercayaan ini (nantinya) pindah kepada rakyat,” kata Sukarno kepada Cindy.

Sebab, Sukarno menilai rakyat Indonesia—yang kepercayaan dirinya rontok setelah dijajah dalam rentang waktu yang panjang—akan memilikinya kembali jika melihat pemimpin mereka tampil gagah perkasa dengan pakaiannya.

“Akan tetapi aku lebih suka memakai uniform setiap muncul di hadapan umum, oleh karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak-injak kolonialis lebih senang melihat Presidennya berpakaian gagah,” jelas Sukarno.

Itulah alasan di balik kebiasaan Sukarno memakai pakaian-pakaian uniform yang necis dan juga bergaya militer, terutama pada masa-masa akhir kekuasaannya.

Sebenarnya, gaya berpakaian Sukarno merupakan kebiasaannya sejak lama. Sesuatu yang sudah melekat kepada diri Sukarno sejak sebelum Indonesia merdeka.

Masih dalam bukunya Cindy Adams, Sukarno mengaku dirinya pernah mengusulkan agar anggota-anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya pada 1928 memakai seragam. Yaitu, setelan pakaian yang berlengan pendek dan celana panjang, alih-alih mengenakan sarung.

Sama seperti pada masa yang lebih kontemporer, desakan Sukarno itu menemukan pertentangan dari orang-orang di sekitarnya. Tidak sedikit dari mereka yang menilai gaya berpakaian usulan Sukarno jauh dari kepribadian nasional Indonesia. Atau dengan kata lain, tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Pertentangan salah satunya datang tidak lain dari Ali Sastroamidjojo yang mengusulkan agar kader-kader PNI mengenakan sarung saja.

Tapi, Sukarno tetap dengan pendiriannya. Karena, ia merasa pakaian-pakaian kuno seperti sarung dianggap rendah oleh dunia modern, terutama para penjajah.

“Di saat orang Indonesia memakai pantalon (celana), di saat itu pula ia berjalan tegap seperti setiap orang kulit putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambing feodal (sarung) di sekeliling pinggangnya ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang abadi. Bahunya melentur ke muka. Langkahnya tidak jantan,” kata Sukarno.

Tidak hanya itu, Sukarno juga menilai pakaian-pakaian lama masyarakat Indonesia merusak mentalitas mereka selama ini. “Pada saat itu pun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk (saat bergaya pakaian serupa),” tandas Sukarno.

Bagi Sukarno, pilihan pakaian sangat menentukan mentalitas penggunanya. Dan itu akan turut menentukan sikap dan tindakannya, terutama dalam konteks pergerakan dan revolusi nasional yang terjadi semasa hidupnya.

Ia berpakaian bak seorang jenderal untuk menimbulkan kesan bertanggung jawab. Dan ia berpakaian bak seorang warga Eropa untuk mendatangkan rasa hormat yang layak diberikan kepada seseorang yang pikirannya sudah bebas dari keraguan dan ketertundukan, dan maju.

Keduanya dinilai oleh Sukarno bisa mendatangkan rasa kagum dan hormat dari masyarakat. Untuk beberapa waktu, pendapatnya memang benar.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Penjelasan Sukarno tentang Peristiwa Gerakan 30 September

JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan kejadian yang

Bung Karno dan Rehabiitasi Sejarah

JAKARTA – Peristiwa krusial Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pada