6 months ago
2 mins read

Jalan Panjang Gereja Katolik Perjuangkan Demokrasi di Filipina

Demo di Jalan Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), Filipina. (Foto: Lakansining)

JAKARTA – Waktu itu suasana memanas di Manila. Jutaan orang memadati Jalan Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Mereka turun ke jalan untuk mendukung kudeta sekelompok perwira militer yang menentang kediktatoran Ferdinand Marcos.

Februari 1986, Filipina berada di ambang Revolusi People Power. Dan Gereja Katolik memainkan peran di dalamnya.

Sebelumnya, operasi kudeta yang dilaksanakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Juan Ponce Enrile dan Letnan Jenderal (Letjen) Fidel V. Ramos berjalan kurang lancar. Dan pasukan mereka akhirnya terkepung oleh pasukan-pasukan loyalis Marcos di Kamp Aguinaldo, Manila.

Kardinal Jaime Sin dari Gereja Katolik Roma di Filipina mengajak rakyat untuk turun ke jalan. Melalui radio Katolik Veritasi, ia menyerukan agar rakyat membantu pelaku-pelaku kudeta yang sedang mengalami kesulitan.

“Jika kalian bisa ada di sekitar Kamp Aguinaldo untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan kalian di waktu yang sangat penting ini, ketika dua teman kita telah menunjukkan idealisme mereka, saya akan sangat berbahagia kalau kalian mendukung mereka sekarang,” kata Sin di siaran radio.

Setelahnya, jutaan rakyat Filipina membanjiri EDSA, untuk menghalangi jalan pasukan-pasukan loyalis Marcos ke Kamp Aguinaldo.

Bukan hanya orang-orang biasa saja yang menjawab panggilan Sin. Agamawan-agamawan Katolik, para pastor dan biarawati juga turut menghadang pasukan-pasukan loyalis Marcos. Tank-tank yang mendekat mereka hadapi bukan dengan senapan api, tapi dengan tasbih rosario.

Gereja Katolik di Filipina baru saja melakukan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Sudah lama mereka menjadi teman bagi rezim, dan kolaborator bagi negara-negara otoriter lainnya di dunia.

Mulai dari Francisco Franco di Spanyol hingga Marcos di Filipina, semua didukung oleh Gereja Katolik yang dahulu terobsesi dengan kestabilan dan ketertiban. Konsepsi mereka akan kehidupan beragama yang konservatif diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari umatnya yang harus diatur dalam lingkungan hidup yang otoriter.

Belum lama, Kardinal Rosales mendukung langkah pemerintah Filipina menerapkan darurat militer untuk menghadapi ‘ancaman’ komunisme di negara itu. Namun, keadaan berubah.

Seusai Pemilihan Umum (Pemilu) Filipina 1986 yang penuh kecurangan dan memenangkan Marcos, Konferensi Waligereja Filipina (CBCP) menyatakan penentangan mereka terhadap pemerintah.

“Pemerintah yang merebut atau mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang curang tidak memiliki dasar moral,” kata CBCP dalam Post-Election Statement.

Presiden CBCP Ricardo Vidal sendiri mengambil kesempatan untuk memberikan pernyataan pribadinya mengenai situasi yang berkembang saat itu. “Sekarang adalah waktunya untuk angkat suara. Sekarang adalah waktunya untuk memperbaiki yang salah,” ujarnya.

Perubahan sikap Gereja Katolik di Filipina hingga menentang rezim itu merupakan produk dari fenomena global yang lebih besar. Pada 1962, Gereja Katolik Roma memanggil petinggi-petingginya dari seluruh dunia untuk mengikuti Konsili Vatikan II.

Paus Yohanes XXIII mengadakan perkumpulan tersebut dalam rangka mengkaji kembali posisi dan peran Gereja Katolik dalam kehidupan umatnya, dan manusia pada umumnya di dunia yang semakin kencang bergerak ke zaman modern.

Hasilnya, Gereja Katolik menemukan tugas baru untuk salah satunya menjaga harkat martabat manusia. Nantinya, gereja akan melibatkan diri lebih banyak dalam persoalan-persoalan sosial dan politik untuk menunaikan tugas itu.

Digerakkan oleh semangat menjaga harkat dan martabat manusia, salah satu sikap yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik adalah pengakuan terhadap kedaulatan rakyat.

Paus Yohanes XXIII dalam surat edaran Pacem in Terris berpendapat, “Bahwa Tuhan tidak merenggut kemampuan manusia… untuk memilih orang-orang yang akan memimpin negaranya, atau menentukan tipe pemerintahan yang mereka inginkan.”

Tidak berhenti di situ, Paus Yohanes XXIII juga mendeklarasikan dalam dokumen yang sama kalau pandangan itu selaras dengan demokrasi.

Pandangan itu dikembangkan lebih lanjut dalam masa kepemimpinan Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II. Hingga Gereja Katolik akhirnya juga membahas penghormatan atas hak-hak asasi manusi (HAM).

Itu adalah tren global yang melatarbelakangi perubahan sikap Gereja Katolik di Filipina. Dan menjadi salah satu faktor atas perlawanan mereka terhadap rezim Marcos di sisi rakyat Filipina yang sudah lama hidup di bawah kekuasaan kediktatoran.

Hasil Konsili Vatikan II juga diperhatikan Gereja Katolik di Filipina. Mereka berusaha menafsirkan dan memahaminya dalam konteks kehidupan rakyat di Filipina. Hasil dari upaya tersebut adalah munculnya keberpihakan terhadap mereka yang tertindas dan tidak beruntung.

Dalam kata-kata Paus Paulus XXIII soal demokrasi, mereka menemukan inspirasi untuk menggerakan kedaulatan rakyat melawan kediktatoran Marcos. Dalam pemikiran-pemikiran Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II, mereka menemukan inspirasi untuk melindungi HAM dari kekejaman rezim Marcos.

Diilhami oleh pandangan-pandangan tersebut, para agamawan Katolik ke jalan EDSA waktu itu. Bersenjatakan tasbih rosario di tangan mereka, para kardinal, pastor, dan biarawati berdiri untuk memperjuangkan demokrasi. Dan menjaga rakyat Filipina dalam upanya menumbangkan rezim Marcos melalui Revolusi People Power.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Consensus ASEAN untuk Akhiri Konflik Myanmar

JAKARTA – Perang Saudara Myanmar yang mulai pada 2021 masih