JAKARTA – Pada 6 November 1956, kaum sosialis se-Asia mengadakan perkumpulan di Mumbai, India. Dalam Kongres Asia II Bombay itu, mereka akan membicarakan hal-hal mengenai sosialisme.
Mulai dari keyakinan masing-masing tentang apa yang disebut ideologi sosialisme, hingga cara-cara dan program-program yang bisa ditempuh untuk mewujudkan masyarakat sosialis.
Di tengah riuh ricuhnya pertemuan itu, hadir seorang pria berbadan kecil yang memiliki idealisme besar. Seorang sosialis dari negeri Hindia Timur yang baru saja memperoleh kemerdekaannya satu dasawarsa sebelumnya.
Sosok itu adalah Perdana Menteri pertama Indonesia era Demokrasi Liberal, Sutan Sjahrir. Bersama dengan para sosialis lainnya yang datang ke kongres itu, Sjahrir ingin mengenalkan sosialisme versinya, beserta cara-cara untuk mewujudkannya.
Waktunya pun tiba bagi Sjahrir untuk naik ke atas podium. Kepalanya menghadap ke arah mikrofon, Sjahrir pun memulai pidatonya. Dengan tajuk Sosialisme Sekarang, Sjahrir membicarakan perkembangan sosialisme hingga kini. Dan apa dampaknya bagi perjuangan rakyat Asia melawan penjajahan Barat.
Tak perlu waktu lama, Sjahrir mengangkat pembahasan mengenai perkembangannya di Eropa, khususnya negara Uni Soviet.
Sebelumnya, banyak dari kaum sosialis dan revolusioner pada waktu itu memandang Uni Soviet dengan baik. Bahkan, banyak dari mereka yang menjadikan Uni Soviet sebagai rujukan dari kekuatan sosialis dan anti-imperialis yang berhasil.
Tokoh-tokoh dunia seperti Presiden Gamal Abdul Nasir dari Mesir dan Presiden kita, Sukarno, nantinya memiliki hubungan dekat. Seringkali pemerintahan mereka mengalihkan kepala kepada Kremlin untuk mendapatkan bantuan.
Namun, tidak dengan Sjahrir yang kerap disapa ‘Bung Kecil’ itu. Pidatonya kali ini bukanlah suatu pujian kepada Uni Soviet, Ibu dari kaum merah dan sosialisme beraliran Marxisme-Leninisme itu.
Sjahrir mengritik apa yang ia sebut kemerosotan susila dan kebangkrutan dalam pimpinan kaum komunis. Di sini, ia bermaksud untuk mengritik sikap sewenang-wenang kaum komunis di Uni Soviet menjalankan revolusi mereka.
Baginya, tindakan para komunis Uni yang represif seperti tidak lagi membedakan antara kejahatan biasa dan revolusionerisme sosialis.
Hal itu diperparah oleh korupsi yang dilihat Sjahrir merajalela di tubuh Partai Komunis di Uni Soviet. Tindakan yang membiayai gaya hidup mahal dan mewah pejabat-pejabat tertingginya.
Menurut Sjahrir, hal itu berakar kepada kepercayaan mereka yang menganut komunisme ala Marxisme-Leninisme terhadap ‘kediktatoran proletariat’. Suatu cara yang mereka yakini bisa dipakai untuk mengarahkan masyarakat kepada kehidupan sosialis.
“Atas dalil perjuangan keras yang tidak mengenal ampun dan kediktatoran proletar… mereka dengan jalan kekerasan dan paksaan telah memperoleh kedudukan seperti yang sekarang terjadi di negeri-negeri komunis,” jelas Sjahrir di hadapan para hadirin.
Jadi, kekerasan dan paksaan menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan kaum komunis, terutama di Uni Soviet.
Dengan adanya kekerasan dan paksaan, Sjahrir menilai kalau komunisme di Uni Soviet menjadikan ‘kepatuhan’ warganya sebagai kebaikan tertinggi. Serta penekanannya terhadap kekuasaan menjadikan itu sebagai satu-satunya yang berarti dalam masyarakat Uni Soviet.
Oleh karena itu, Sjahrir memvonis kalau komunisme ala Marxisme-Leninisme yang diterapkan di Uni Soviet selalu anti-sosialis karena semangatnya yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Bagi Sjahrir, kekuasaan dan perkembangan masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi memanglah penting. Dan ia tidak membantah kalau Uni Soviet berhasil mencapainya dalam tingkatan tertentu. Namun, sosialisme bagi Sjahrir juga adalah kepercayaan atas ‘martabat manusia’.
Sehingga, kehidupan di Uni Soviet yang penuh dengan kekerasan dan paksaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan partai komunis setempat bukanlah kehidupan yang sosialis. Setidaknya, begitu menurut Bung Kecil.
Demikian, Sjahrir menawarkan alternatifnya kepada para hadirin. Ia memberikan gambaran mengenai sosialisme yang kiranya cocok untuk kaum sosialis Asia. Dengan ambisi mereka untuk menciptakan masyarakat baru, dengan cara yang baru, di negara-negara mereka yang baru merdeka.
Baginya, negara kesejahteraan harus lah terwujud. Sosialisme yang dapat mendatangkan kesejahteraan kepada banyak orang haruslah didirikan. Namun, keamanan pribadi dan hak-hak asasi lainnya yang melekat kepada diri manusia juga harus dijamin oleh para sosialis, terutama ketika sudah berkuasa.
Untuk mencapai itu, Sjahrir menawarkan apa yang ia sebut sebagai ‘sosialisme kerakyatan’. Sosialisme yang dicanangkan Sjahrir ini juga mengandung unsur demokrasi politik. Hal itu penting untuk melawan kecenderungan korupsi jiwa dan jaminan susila seperti yang ditemukan di Uni Soviet.
Di sini, Sjahrir menemukan kesamaan dengan kaum sosial demokrasi di negara-negara Barat. Mereka yang menghargai martabat manusia selagi menjalankan agenda-agenda reformasinya melalui jalan-jalan parlementer.
Kata Sjahrir, para sosial demokrat Barat menaruh kepercayaan parlementer untuk mengabdi kepada pekermbangan manusia dan memusuhi setiap bentuk kediktatoran dan totaliterisme. Ke sini, Sjahrir menolehkan pandangannya, alih-alih kediktatoran proletar ala Uni Soviet.
Artinya, sosialisme kerakyatan Sjahrir akan diperjuangkan melalui parlemen, bukan kediktatoran proletar. Ia juga akan memerhatikan hak-hak asasi manusia, tidak hanya kesetaraan ekonomi. Dan menjaga dirinya dari kesewenang-wenangan dengan menempatkan sistem demokratis untuk mengawasi dan mengimbangi satu lembaga dengan yang lainnya.*
