JAKARTA – Seorang pria tinggi berkulit putih berdiri di hadapan kerumunan yang bersemangat. Ia sudah berpidato cukup lama. Dan sebentar lagi akan masuk ke inti pembicaraan yang diberikannya pada saat itu. Akhirnya, ia pun mengatakan kata-kata yang ditunggu oleh para hadirin “kami akan berperang melawan itu, rakyat Hindia!”
Pria itu adalah E.F.E Douwes Dekker (1879-1950). Saat itu, almanak menunjukkan tanggal 25 Desember 1912. Dan ia sedang memberikan pidato dalam rapat umum perdana Indische Partij (IP). Rapat inilah yang ditahbiskan banyak sejarawan sebagai pendirian partai politik pertama di Indonesia.
Dekker kemudian melanjutkan pidatonya. “Deklarasi perang ini antara cahaya dan kegelapan, antara kebaikan dan kejahatan, antara rakyat dan tirani pemerintahan kolonial (Belanda), dan antara budak pembayar pajak dan negara Belanda yang menghisap pajak.”
Seketika, ilusi rust en orde (ketenangan dan ketertiban) yang dibangun oleh Belanda runtuh. Untuk beberapa tahun ke belakang, Belanda tengah berusaha menjinakkan koloninya. Hal itu dilakukan dengan mengadakan politik etis.
Mereka yang membaca buku sejarahnya dengan saksama pasti sudah paham dengan politik etis. Serangkaian program pendidikan, irigasi, dan migrasi yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan produktivitas rakyat koloni Belanda di Hindia Timur.
Memang, politik etis yang digagas oleh rekan sebangsa Dekker, Conrad van Deventer (1857-1915) mendatangkan keuntungan bagi rakyat Hindia. Pendidikan telah membuka akses terhadap pengetahuan yang luas. Irigasi telah meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan. Dan migrasi telah meringankan beban kepadatan penduduk di Jawa.
Namun, rakyat Hindia yang merasakan manfaatnya masih berkedudukan sebagai objek yang pasif. Bukan subjek yang aktif melaksanakan perbaikan-perbaikan kehidupan mereka. Hal ini menjadikan mereka gelisah.
Bagi Dekker, semua kebijakan etis itu tidak cukup. Dalam artikelnya yang berjudul “Cara tercepat bagi Belanda untuk melepaskan koloninya?” Dekker berargumen kalau Hindia hanya bisa ditenangkan apabila diberikan hak pemerintahan sendiri.
Di sini, terdapat keradikalan yang baru. Tak hanya Dekker ingin memperbaiki taraf hidup rakyat Hindia, seperti Deventer dan perkumpulan Boedi Oetomo sebelum IP hadir, ia ingin agar Hindia Timur merdeka. Kalau tidak, Hindia Timur akan tenggelam dalam kekacauan politik. Dalam pertarungan antara pemerintahan Kolonial yang ingin mempertahankan koloninya dan rakyat pribumi yang tak lagi mau dijajah.
Aspirasi Dekker dan pendukungnya tak hanya bersifat ekonomi. Tetapi juga politik. Mungkin tak berbeda dengan politik rekognisi pada era modern ini, yang menuntut agar rakyat Pribumi diberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hal itu hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberikan kemerdekaan.
Untuk mencapai tujuan itu, Dekker mendirikan IP, yang kemunculannya di publik dimulai dengan rapat umum di Bandung. Di kota itu, Dekker dan pendukungnya mengadakan rapat umum yang merupakan hal baru bagi masyarakat Hindia Timur, terutama pribumi. Hal itu menjadi inspirasi HOS Tjokroaminoto (1882-1934) untuk menggalang massa Sarekat Islam (SI) dengan cara mengadakan rapat-rapat umum seperti yang diadakan di IP Bandung.
Sepanjang perjalanan, mereka menemukan pendukung-pendukung baru. Salah satunya adalah Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943) yang berjasa mengatasi wabah pes di Jawa pada tahun 1911. Kesamaan visi politik dengan Dekker menjadi alasan Tjipto bergabung dengan rombongan IP.
Selain Tjipto, Dekker juga menggalang Soewardi Seorjaningrat (1889-1959) atau yang kemudian hari dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Kekaguman Dekker terhadap terhadap tulisan-tulisan Soewardi di surat kabar De Express dan Oetoesan Hindia menemukan keduanya di Bandung.
Sekilas, IP tampaknya berhasil menjadi partai politik pertama di Hindia, dengan kehadiran Dekker, Tjipto, dan Soewardi yang memimpin sebagai tiga serangkai. IP punya basis pendukung yang cukup banyak dan program politik yang jelas, yaitu kemerdekaan Hindia Timur.
Namun, kondisi berbalik arah. Seperti kini, pendirian perkumpulan di Hindia Timur harus diberikan izin agar sah. Suatu hal yang enggan diberikan oleh pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Maret, Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederick Idenburg (1861-1935) menyatakan kalau pemerintah tak akan mengakui partai yang menentang pemerintah kolonial.
Sejarah IP berakhir sebagai partai di situ. Tetapi, tokoh-tokohnya akan terus mewarnai skema pergerakan nasional ke depannya. Dekker, Tjipto, dan Soewardi sempat diasingkan ke Belanda karena tulisan “Als ik eens Nederlander Was”-nya Soewardi yang mengritik penjajahan Belanda dengan keras. Setelah kembali mereka akan kembali mendirikan partai yang bernama Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH).
Demikian, IP menjadi partai politik pertama di Hindia Timur. Kehadirannya memang tak lama, tetapi memberikan dampak besar bagi kaum pergerakan saat itu. Membangun keberanian dan rasa percaya diri mereka untuk menentang pemerintah kolonial. Sekaligus menunjukkan cara-cara untuk bergerak, salah satunya melalui rapat-rapat umum.*